Prolog

119 87 39
                                    

"Kamu kapan mau kerja, Gi? Udah dua tahun kamu jadi pengacara gak jelas."

Pagi menjelang siang ini dibuka dengan obrolan hangat antara sang ibu dengan anak gadis semata wayangnya. Tidak, bagi Gianna ini sama sekali tidak mencerminkan obrolan hangat. Kepalanya sudah pusing sejak satu jam lalu memutuskan untuk duduk santai di sebelah ibunya.

"Ma, Gianna kan udah bilang, nanti kalau waktunya dapet kerjaan pasti ada kok. Kalau Gianna udah dapet kerjaan gak akan mungkin jadi pengacara alias pengangguran banyak acara kayak sekarang ini," decak Gianna sambil sesekali menggerutu.

Ibunya hanya bisa melipat kedua tangan di dada sambil menghela napas panjang. Entah harus bagaimana lagi, dengan model pembicaraan dan entah dengan bujukan cara apalagi agar anak gadisnya ini mau mencari kerja.

"Ya kamu cari dong, Gi! Bukan malah nunggu kerjaan yang samperin kamu. Gimana mau nikah? Orang cari kerja aja males gini kok, apalagi cari suami,"

Gianna menggaruk rambutnya yang sudah dua hari belum ia cuci. Bukan karena malas mandi namun karena sejak dua hari yang lalu tidak ada agenda sok sibuk yang mengganggunya, maka ia memutuskan untuk menunda kegiatan membersihkan tubuh itu.

"Aduh mama bawel banget sih! Awas kalau mama kaget tiba-tiba Gianna bawa calon suami kaya raya dan langsung nikah tahun depan!" Gianna memutuskan bangkit dan pergi dari tempat. Ia benar-benar sudah tidak sanggup membahas perihal bekerja, mood nya benar-benar terganggu saat itu juga.

"Anak gadis jaman sekarang, orang tua lagi ngomong main ditinggal-tinggal aja ... heran aku pas hamil dia ngidam apa ya waktu itu,"

Selang lima menit Gianna yang pergi meninggalkan obrolan tadi, dering di ponselnya mulai terdengar nyaring, "Gi ini ada telpon!" seru sang ibu.

Gianna kembali untuk mengambil ponselnya yang tertinggal di dekat ibunya. Ia segera mengangkat telepon tersebut dengan tangan sambil memegang piring berisi nasi goreng.

"Halo Wil? Gimana?"

"...."

"Serius Wil?! Oke gue siap-siap dulu, lima menit sampai."

Telepon segera dimatikan sepihak oleh Gianna. "YES YES YES!!! ASIKK!!" senangnya sambil melompat-lompat.

"Kenapa sih Gi kayak orang kerasukan kamu?" cibir ibunya aneh ketika melihat tingkah Gianna yang tiba-tiba berubah kesenangan.

"MAMA TUNGGU AJA, PULANG DARI SINI AKU PASTI DAPET KERJAAN!!" lanjutnya dan berlari mengambil handuk. Ibunya hanya terheran dan berharap anaknya itu benar-benar mendapatkan pekerjaan setelah pulang nanti.

***

"Wahh lo serius Wil?? Gue jadi lambe turah nih?"

Plakk..

"Enggak lah bego! Jurnalisss, Gi! Bukan jadi lambe turah,"

Gianna mengerucutkan bibirnya ketika Wila memukul rambut basahnya yang baru saja ia cuci menggunakan koran. Ia pikir pekerjaan yang akan diberikan untuknya adalah pekerjaan sederhana, misalnya seperti mengasuh anak kecil, mengantar makanan cepat saji, atau bahkan menjadi kurir paket. Bagi Gianna, membuang-buang waktu hanya untuk mencari informasi berita adalah hal yang membosankan.

"Yang ini enggak deh, Wil. Kayaknya capek banget kalau harus kerja ini. Belum gue wawancaranya, ngeditnya, ini-itunya segala macem. Bisa mati mendadak dalam waktu singkat gue," jelas Gianna sambil mengetuk-ngetuk jari di atas meja. Sebenarnya dia juga sedang mempertimbangkan secara matang.

"Eh ibu Gianna Restiva yang terhormat. Lo itu kan sarjana sastra Indonesia, masa ambil ini aja gak sanggup? Gak inget berapa kali lo gedor-gedor rumah dosen tengah malem cuman buat acc skripsi lo yang tebelnya kayak dompet gue itu?" ceramah Wila panjang. Menjadi Wila juga tidak mudah, capek-capek menawarkan pekerjaan berbobot namun selalu ditolak oleh Gianna.

Gianna berdecak, "Ya makanya itu, Wil. Lo mau gue gedor-gedor rumah narasumber cuman buat ngejar deadline perilisan berita?"

Wila memutar bola matanya malas, lelah dengan sikap Gianna yang picky job itu. Gianna ini bisa dibilang memang anak orang berada, namun mengapa ia lebih memilih menjadi kurir paket atau bahkan mengasuh anak orang lain jika dirinya mampu bekerja di suatu perusahaan besar?

"Gue pastiin deh sekali lagi. Ini perusahaan media berita terbesar nomor tiga se Indonesia loh, Gi. Yakin lo gak mau? Bicara gaji? Lo gak usah khawatir deh, gue bisa bilang ke cowok gue buat gaji lo sesuai kinerja,"

Gianna menyertikan alisnya bingung, cowok gue? "Maksud lo cowo gue itu siapa?"

Wila menaruh gelas kopi yang baru saja ia minum di atas meja, "Cowo gue yang jadi atasan lo kalau lo terima kerjaan ini. Gampang kan? Yang penting lo kerja deh, Gi!"

Gianna membuka kedua mulutnya lebar, shock. Semenjak putus dari mantan terakhir saat lulus Sekolah Menengah Akhir, Wila sudah jarang membagikan life update kepada Gianna. Dan, bukankah ini sebuah kejutan besar yang tak terduga?

"Sumpah, Wil? Sejak kapan lo punya pacar lagi?!" antusias Gianna yang menunggu Wila untuk bercerita.

Wila hanya tertawa sinis, "Panjang ceritanya. Gue gak cinta sama dia, kita dijodohin."

Gianna mengangguk, "Masih ada ya di tahun sekarang jodoh-jodohan, untung nyokap gue gak kepikiran ide gila itu," bayangkan saja jika Gianna anak satu-satunya yang selalu dimanja oleh sang ayah mendadak dijodohkan seperti Wila dengan laki-laki yang tidak ia cintai. Huhh buang jauh-jauh bayangan seperti itu. Jika ingin dijodohkan dengannya, minimal harus setampan Tom Holland dan sekaya Bill Gates. Bercanda. Gianna lebih suka lelaki sederhana dan apa adanya.

"Lo gak usah alihin pembicaraan deh, Gi. Jadinya lo mau ambil apa enggak?" selak Wila yang emosinya hampir menyatu hanya untuk menanyakan kepastian sahabatnya itu.

"Gue maunya langsung gantiin posisi cowo lo aja bisa gak Wil? Demi Tuhan gue merasa males banget buat mengabdi dengan nulis berita sampai larut malem,"

"Oke gue cabut kalau lo emang beneran gak mau. Padahal sekali lo upload berita, gajinya bisa sepuluh juta," ucap Wila yang mulai membereskan barang bawaannya dari atas meja.

Gianna termenung. Sepuluh juta. Sangat menggirukan. Tapi apa benar? Apa sahabatnya ini tidak sedang membodohinya hanya untuk bekerja di sana? Bagi Gianna memegang uang sepuluh juta memang bukan hal yang baru, namun mendapatkan uang sepuluh juta dari hasil tangannya sendiri adalah hal yang belum pernah ia wujudkan.

"Gue gak akan nawarin lo kerjaan lagi ya Gi kalau yang ini masih lo tolak. Ini udah tawaran job yang ke sembilan kalinya. Gak akan ada tawaran job ke sepuluh setelah ini!" baru saja Wila yang terlihat bad mood akan segera berbalik badan meninggalkan Gianna, tangannya langsung ditahan. Ya, sepertinya Gianna berubah pikiran.

"Fine, gue terima! Kapan wawancaranya?" final Gianna akhirnya.

Wila tersenyum lega, "Gitu dong baru namanya sahabat gue. Gue kan cuman mau balas budi ke lo karena selama sekolah lo selalu bantuin tugas-tugas gue, Gi."

Gianna memanyunkan bibirnya, "Iya deh yang mau bales budi tapi terkesan maksa," sindir Gianna.

"Gue janji kalau dalam waktu singkat lo gak betah, gue pasti cariin kerjaan pengganti buat lo!"

"Bener ya?"

Wila mengangguk. Selanjutnya ia mengurungkan niat untuk pergi meninggalkan Gianna dan memilih memberitahu apa-apa dan bagaimana saja hal yang harus ia siapkan sebelum sesi wawancara.

See U on The Next ProgressTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang