Pertemuan pertama

106 81 18
                                    

Gianna mengambil buku catatan kecil yang terjatuh dari tasnya. Jam sudah menunjukkan pukul delapan lewat dua belas menit yang artinya ia sudah telat dua belas menit dari jam masuk. 

"Mati gue!" keluhnya pelan. Hari ini adalah tepat setelah tiga minggu ia melakukan sesi wawancara dan diterima dengan pekerjaan sesuai rekomendasi Wila menjadi jurnalis. Lebih tepatnya lagi ini adalah hari kedua Gianna masuk kerja dan ia langsung telat dua belas menit. 

"Ini Pak uangnya, makasih ya. Kembaliannya ambil aja saya buru-buru, pekerjaan saya dipertaruhkan mulai detik ini, Pak," ucap Gianna yang masih sempat curhat dalam kondisi genting

Ia tergesa-gesa masuk ke dalam gedung dengan yang kurang lebih berisi enam puluh tiga lantai itu. Untung saja tidak ada kendala di dalam lift. Kalau tidak, Gianna harus menaiki beribu-ribu anak tangga seperti saat ia datang ke sini untuk sesi wawancara. 

"Pagi, Pak. Maaf ... maaf banget, Pak. Saya tahu ini kesalahan besar tapi tolong jangan pecat saya," Gianna menundukkan kepalanya. Ia tidak berani menatap atasannya itu dalam kondisi seperti ini. 

Keadaan hening sejenak. Gianna paham kalau saat ini ia sedang menjadi pusat perhatian para karyawan yang lain. Namun mau bagaimana lagi? Ia harus tetap menerima resiko dari keteledorannya yang menonton pertandingan bulu tangkis antar Rt tidak ingat waktu. Iya, Gianna telat bangun karena keasyikan menonton pertandingan bulu tangkis antar Rtnya. 

"Hahaha, Gi, Gi. Kamu cuman telat dua belas menit sampai segininya ya? Saya bukan Gavian kali yang sekejam itu ke karyawan. Lagi pula kamu anak baru kan di sini?"

Gianna mendongak, menyeritkan alisnya bingung. Terus kalau bukan Pak Gavian, dia ini siapa? 

"Saya Samuel. Ya ... memang posisi saya di atas kamu, tapi tenang aja, saya nggak pernah cepu kalau masalah telat masuk gini ke Gavian,"

Gianna menghembuskan napas lega. Terima kasih Tuhan. Ia mengucapkan rasa syukur berkali-kali karena telat pertama tidak langsung bertemu dengan atasan utamanya. Sejujurnya Gianna juga belum lihat bagaimana wajah Gavian selaku atasan dan pacar dari Wila itu. Jadi ia pikir, lelaki dengan jas rapih dan terlihat sedang berbicara serius dengan karyawan yang lain adalah Gavian atasannya. 

"Terima kasih, Pak Samuel. Maaf karena keterlambatan saya, Pak. Saya baru kemarin jadi karyawan di sini," jelas Gianna sambil tersenyum. 

Samuel mengangguk, kemudian mempersilahkan Gianna untuk lanjut bekerja di jamnya. Gianna mulai membuka laptop dan mencari-cari hal yang paling dibicarakan dua puluh empat jam terakhir untuk dibuat daftar berita. 

***

"Hai kita belum sempet kenalan dari kemarin loh."

Gianna mengangkat kedua alisnya, ia menjabat juluran tangan yang diberikan kepadanya, "Saya Gianna, Mbak," jawabnya. Sepertinya ia mengenali wanita yang sedang menyambutnya ini. Ah, ya! Wanita yang sama waktu menunjukkan ruang interview Gianna kemarin.

"Duh jangan panggil saya mbak lah Gi. Berapa umur kamu?"

Gianna tersenyum canggung, bukankah panggilan mbak itu tidak hanya mengacu pada umur tetapi mengacu juga kepada sopan santun sebelum berkenalan lebih lanjut? 

"Saya dua puluh dua tahun, Mbak."

Sekarang giliran lawan bicaranya yang tersenyum canggung, "Hehe ... iya sih emang saya pantes dipanggil mbak sama kamu. Nama saya Rasti."

"Hai Mbak Rasti, salam kenal ya," balas Gianna lagi. 

Rasti mendekatkan kursinya ke arah meja Gianna, tidak terlalu jauh dari mejanya sendiri. "Kamu bawa cemilan apa buat makan siang nanti di bawah, Gi?"

See U on The Next ProgressTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang