"Aku juga heran Gi kenapa Pak Gavian hari ini se dingin itu ke karyawan baru. Padahal sebelum-sebelum kamu nggak pernah diintrograsi se lama tadi," ungkap Rasti yang juga sedang memikirkan alasan atasannya tadi.
"Umur Pak Gavian berapa sih, Mbak?" tanya Gianna lagi.
"Dua puluh lima atau dua puluh enam gitu deh, Gi. Kenapa?"
Gianna berpikir mungkin saja atasannya itu bersikap seperti tadi karena pusing mengenai perjodohan dirinya dengan Wila? Atau mungkin karena ia sudah ditekankan untuk memiliki anak karena umurnya hampir menginjak tiga puluh tahun? Ya walaupun masih jauh. Entahlah, yang pasti memikirkan hal-hal aneh ini hanya membuat kepala Gianna nyut-nyutan.
"Nggak usah dipikirin lebih lanjut, Gi. Nanti kerjaan kamu malah keganggu."
Gianna mengangguk paham. Setelah makan siang tadi ia langsung memberikan daftar berita yang akan ia tulis lebih lanjut. Untung saja daftar pekerjaannya tadi Samuel yang menghandlenya, jika atasannya yang satu lagi, maka dipastikan hari ini adalah hari revisi bagi Gianna.
***
"Serius Gi, Gavian kayak tadi?!"
Gianna sama sekali tidak memalingkan wajahnya dari laptop. Ia masih harus menyunting berita untuk melakukan sesi wawancaranya keesokan hari.
"Tapi kalau sama gue ... ya emang nggak se atraktif pasangan kayak biasanya, cuman nggak se dingin itu juga," lanjut Wila.
"Ya ... mungkin karena gue orang baru sih, Wil. Bisa aja dia kayak gitu ke orang baru doang, buktinya sama lo yang notabenya calon istri aja nggak se dingin kayak yang gue ceritain."
"Nggak ada calon istri calon istrian. Gue sama dia cuman ngejalanin kontrak perjodohan dan akan akhirin ini semua di waktu yang tepat!" ujar Wila sambil menopang wajahnya dengan satu tangan seolah sedang merencanakan sesuatu.
"Lo mah emang nggak pernah beres, Wil!" balas Gianna.
Wila hanya mengangkat bahunya tak acuh. Lagi pula apa yang ia harapkan dari pernikahan yang keduanya sama-sama tidak saling mencintai?
"Gimana kerjaan lo? Udah mulai ngapain aja dari kemarin?"
"Ya gitu lah ... ini gue lagi buat daftar isu-isu terkini untuk mulai rapat besok," tangan dan pandangan Gianna tidak pernah lepas dari laptop. Hingga pukul sembilan lewat dua belas menit Gianna dan Wila memilih untuk membereskan meja makan mereka agar bergegas pulang.
"Ekhem."
"Loh Gav? Ngapain di sini?!"
Gianna mendongak ketika mendapati sosok laki-laki tinggi yang berdiri di sebelah sahabatnya. Gavian, iya, atasannya itu kini menatap mereka dengan tatapan bingung.
"Saya disuruh ayah kamu untuk jemput kamu di sini," jelas Gavian menatap Wila.
"Kamu ... sedang apa kamu di sini?" kini giliran Gianna yang mendapatkan pertanyaan dari Gavian. Entah mengapa setiap Gavian berbicara ke arah Gianna, ia selalu merasa terintimidasi seolah ia adalah pelaku kejahatan yang sedang tertangkap basah oleh keamanan.
"Itu ... anu Pak ... saya lagi-"
"Dia temen gue, Gav. Tolong jangan buat dia merasa takut setiap ketemu sama lo!" bela Wila pada Gianna.
Gavian tidak menanggapi ucapan terakhir Wila, ia memilih menggandeng tangannya dan membawa Wila ke luar dari tempat makan itu.
"Gianna gimana? Gue harus anterin dia pulang Gav, ini udah malem."
"Eh nggak papa Wil. Gue bisa pulang sendiri pesen ojek online, lo duluan aja," bantah Gianna cepat. Ia buru-buru mengambil laptopnya dan mendahului Gavian yang masih memegang tangan Wila untuk ke luar.
Buru-buru Gianna membuka ponselnya untuk memesan ojek online sebelum ia kembali bertemu dengan Wila dan Gavian di luar.
Sampai di rumah barulah Gianna bisa bernapas lega. Kalau bukan karena Gavian adalah atasan sekaligus kekasih dari sahabatnya, ia pasti akan memberikan tatapan intimidasi balik kepada Gavian. Seumur hidupnya Gianna baru pertama kali kikuk di hadapan orang lain. Dan Gianna sangat tidak suka dengan orang-orang yang selalu memberikan tatapan memakan lawan kepada orang lain apalagi orang baru, baginya itu terkesan tidak sopan.
"Aduhh cantiknya anak mama yang mukanya udah mulai keliatan capek karena seharian bekerja. Gitu dong, Gi. Mama kan muak liat muka kamu yang selalu santai dan jarang keringetan kayak sebelum-sebelumnya."
Gianna memutar kedua bola matanya malas, malas menanggapi ocehan ibunya. Ibu mana yang terlihat lebih bahagia ketika anaknya capek bekerja dibanding santai tidur-tiduran layaknya pengacara (pengangguran banyak acara) padahal uangnya sendiri sudah cukup untuk menghidupi cucunya sampai tujuh turunan nanti? Tidak, keluarga Gianna tidak semampu itu untuk menyiapkan uang hingga tujuh turunannya.
"Besok Gianna resgin!!" jawab Gianna ketus.
"Enak aja main resign! Kalau sampai kamu resign, mama akan kirim kamu ke kalimantan buat ngolah kebun kelapa sawit punya papa."
"Paa ... mama tuh paaa," adu Gianna yang berjalan menuju ke arah papanya. Ia memeluk papanya yang sedang bermain ponsel di ruang tengah.
Papa Gianna membalaa pelukan anak perempuan satu-satunya itu, "Nggak papa lah Gi kalau kamu ke kalimantan, nanti bisa jadi bos kelapa sawit nerusin kebun papa,"
"Nggak suka, Pa ... Gianna maunya di Jakarta aja,"
Kedua orang tuanya tidak melanjutkan tanggapan Gianna dengan serius. Mereka tertawa bersama, sangat mengetahui kepribadian anak perempuannya itu yang tidak bisa beranjak dari sesuatu yang sudah lama ia tinggali.
"Kamu udah punya pacar, Gi?" papanya mengalihkan pembicaraan.
Gianna menggeleng, "Kata mama suruh fokus kerja dulu, jadi nanti aja Gianna cari pacarnya, Pa," sahut Gianna enteng.
Mamanya langsung mencubit pelan lengan Gianna, "Enak aja! Kapan mama suruh kamu cuman fokus kerja doang? Selagi bisa fokus kerja sambil cari pasangan kenapa nggak?"
Gianna memanyunnkan bibirnya, ia sangat heran mengapa di umurnya yang masih menginjak dua puluh dua tahun orang tuanya sudah harus membahas pasangan hidup? Tidak bisahkan diam sejenak sampai umurnya dua puluh lima tahun?
"Umur Gianna masih dua puluh dua kali, masih jauh kalau ngomongin pasangan. Gianna masih kecil, Ma," protesnya lagi.
"Mama sama papa kamu yang udah kelewat tua, Gi. Gimana kalau mama sama papa nggak sempat hadir di pernikahan kamu? Nggak sempat lihat cucu mama?"
Gianna berdiri, "Mama lebay deh! Iya-iya dua tahun lagi Gianna nikah!" Gianna bangkit dan segera masuk ke dalam kamarnya. Ada saja hal-hal yang membuat dirinya kesal, namun apakah ia serius dengan ucapannya barusan? Tentu tidak.
Ia memang anak kesayangan mama dan papanya. Menunggu kedatangannya adalah hal paling sabar seumur hidup orang tuanya. 18 tahun mereka menunggu Gianna hadir, jadi wajar saja ada kekhawatiran sebagai orang tua ketika tidak bisa melihat siapa yang akan bertanggung jawab selanjutnya tentang menjaga Gianna.
KAMU SEDANG MEMBACA
See U on The Next Progress
Romance[FOLLOW SEBELUM BACA!] Bercerita tentang Gianna Restiva sebagai jurnalis di Media Indonesia, perusahaan media massa terbesar nomor tiga se Indonesia. Gianna hanya menjalani hari-hari seperti biasa dalam bekerja .... mencari berita, membuat berita da...