Wila sialan!

90 82 6
                                    

Pukul menunjukkan jarum pendek di angka delapan dan jarum panjang di angka satu yang artinya selesai sudah tugas Gianna di hari ini. Malam ini ia bisa menonton kelanjutan drama korea kesukaannya sambil memakan beberapa cemilan di rumah.

"Loh, Gi, kenapa belum pulang?" Gianna menengok ke arah belakang, ia tersenyum hangat mendapati Dimas yang menghampirinya sambil menaiki sepeda motor.

"Iya, Mas Dimas. Gojeknya masih kejebak macet di bundaran HI."

Dimas mengangguk mengerti, memang dijam-jam pulang kantor seperti ini wilayah gedung perusahaannya cenderung sangat ramai, "Kalau gitu gue duluan ya, Gi? Eh ... atau lo mau bareng?" tawar Dimas pada Gianna yang tentu saja dijawab dengan gelengan kepala.

"Aduh nggak perlu, Mas Dimas, dua belas menit lagi gojeknya sampai kok."

Dimas mengisyaratkan 'oke' di jarinya, "Take care ya, Gi. Oh iya kalau udah sampai rumah jangan lupa kirim revisi naskah yang tadi udah lo tulis, biar bisa langsung direcheck tim redaktur."

Gianna tersenyum menanggapi balasan Dimas dan mempersilahkan ia untuk melanjutkan perjalanannya. Sedetik setelah kepergian Dimas, Gianna kembali mendengus, "Nggak jadi deh gue nonton drakor malem ini," sahutnya pelan mengingat ternyata ia masih harus merevisi naskah beritanya.

Ting!

Maaf, Mbak Gianna Restiva ini macet banget di bundaran hi, mungkin kalau Mbak Gianna Restiva berkenan untuk menghampiri saya saja di sini agar arah pulangnya lebih cepat 🙏🏻.

Lagi dan lagi nafas pasrah keluar dari mulut Gianna, "Oke, Gi! Saatnya kita jalan menikmati macet ibu kota dan gedung-gedung di sekitarnya!"

Langkah demi langkah ditempuh Gianna sambil sesekali mengamati orang-orang yang berlawanan arah dengannya. Sejujurnya letak gedung kerjanya hanya berkisar lima sampai sepuluh menit menuju arah bundaran HI. Berkali-kali Gianna memberhentikan langkahnya demi memikirkan satu hal Ini orang-orang udah tengah malem gini parfumnya apaan deh? Wanginya nggak ilang-ilang, nggak ada bau keringetnya sama sekali! Sedangkan Gianna? Jangan pikir dikondisi lelah seperti ini ia masih sempat menyemprotkan parfum ke badannya.

Dddrtt..

"Halo, Wil?" sambil berjalan Gianna mengangkat telepon dari Willa.

"Lo di mana?"

"Di jalan pulang."

"Gue minta tolong bangettt pliss Gianna Restiva tolong keikhlasan lo untuk bantu gue!"

Gianna melihat layar ponselnya dan mengaktifkan mode speaker, "Tolong apaan?" sahutnya.

"Tolong gantiin gue buat dinner sama Gavian!"

"HAHH??!" sentak Gianna kencang. Gianna yang merasa seketika semua orang menatap dirinya dengan heran segera memasang gelagat meminta maaf, "Maksud lo apaan sih, Wil?!" bisiknya pelan, kini Gianna menonaktifkan sepaker ponselnya.

"Aduh, Gi, udah lo ikutin aja ya! Gue udah pesenin grabcar ke lobby tempat kerja lo. Meja juga udah direservasi atas nama gue jadi lo tanya aja, dan inget! Pakai apapun yang bisa nutupin wajah lo juga jangan banyak ngeluarin suara! Lo pura-pura kehabisan suara aja karena gue bilang lagi flu ke Gavian, oke? Thank you girl good luck!"

Ddrttt..

Sambungan terputus. "What the f—apa tadi kata dia? GOOD LUCK?!!" kini yang ada di pikiran Gianna hanya dua hal, pertama bahwa Wila sudah tidak waras dan yang kedua—ia takut dimarahin bapak gojek yang sedari tadi sudah menunggunya!

***

"Malam, Mbak. Meja atas nama Wila di sebelah mana ya?"

Pelayan itu sedikit terkejut atas kedatangan Gianna, "Selamat malam, mohon maaf sebelumnya apakah bisa menyebutkan nama panjang? Karena ada dua bookingan atas nama Wila."

Gianna terlihat mengingat nama panjang sahabatnya itu, "Ah, Wila Agustina Candrakusumo."

"Baik, Kak, silahkan datang di meja nomor dua belas, terima kasih." Gianna mengangguk dan kembali berjalan pelan. Astaga, apakah matanya tidak salah melihat? Ada seorang laki-laki berjas biru tua yang sudah duduk di meja tersebut. Apakah itu Gavian? Ya, tentu saja, siapa lagi memangnya?

"Ekhem!" Gianna berdehem untuk menyatakan kedatangannya. Gavian melihat Gianna yang menjadi Wila sempat menyeritkan alis sejenak sampai akhirnya menyuruh Gianna sebagai Wila untuk duduk.

"Terima kasih sudah bersedia datang, Wila," ucap Gavian terlihat tulus, "Kamu ... kenapa pakai helm proyek dan masker wajah?" heran Gavian.

Gianna terlihat kikuk sejenak dan sesekali berusaha menahan tawa akibat mengingat tingkah yang ia buat sendiri. Untung saja ia sempat membawa sheetmask di tasnya tadi pagi ... jaga-jaga liputan pertama bisa sampai larut malam dan tidak sempat maskeran, serta helm proyek dari grabcar tadi yang ia pinjam—walaupun tidak tahu bagaimana caranya mengembalikan helm itu nanti.

Ia segera mengeluarkan handphonenya dan beralih ke catatan pribadi untuk berkomunikasi dengan Gavian di hadapannya.

Wajah aku lagi sensitif kena angin malam tulis Gianna asal di catatan dan segera menunjukkan kepada Gavian.

Gavian menaikkan satu alisnya, "Udah periksa? Mau aku antar ke dermatologi?" tawar Gavian. Gianna segera melambaikan kedua tangannya mengisyaratkan tidak perlu.

"Terus kamu udah mendingan? Kenapa nggak ada suara dari tadi?"

Uhuk... uhuk..

Aku kena flu berat, suaranya habis lanjut Gianna lagi. Tanpa aba-aba Gianna tersentak akibat Gavian yang tiba-tiba memegang kedua tangannya dan berlanjut memegang lehernya, segera ia bergerak mundur untuk menjauhkan tubuhnya dari Gavian.

"Maaf kalau saya terlalu maksa kamu datang, Wila. Saya cuman khawatir dengan hubungan kita akhir-akhir ini, saya nggak mau main-main lagi sama hubungan kita. I just feel like I'm starting falling in love with you."

Lagi dan lagi tingkah Gavian membuat Gianna tersentak, namun kali ini tidak hanya itu, ucapan Gavian barusan membuat Gianna terharu bahwa setulus itu Gavian kepada sahabatnya, Wila. Gianna mengangguk sebagai jawaban, tentu saja ia mendukung penuh hubungan bos dengan sahabatnya itu.

Ting!

Gimana? Udah selesai belum dinner sama Gavian? Gue masih di club, lama-lamain aja tolong ya!

"Wah—" Gianna buru-buru menutup mulutnya. Astaga! Hampir saja ia mengeluarkan suara, jantungnya kini berdetak kencang berharap Gavian sama sekali tidak mengenali sedikit pun suara Gianna.

"Wila?! Ada apa? Mau saya antar periksa?" Gianna melotot sambil menggelengkan kepala sebagai jawaban. Ia segera menonaktifkan notifikasi whatsappnya dan kembali menjawab melalui catatan handphone.

Tadi cuman mau bersin, nggak papa.

Wila setan! Enak banget hidup tuh orang numbalin gue di hadapan Pak Gavian sedangkan dia malah asik ngeclub???!! emosi Gianna hampir memuncak di dalam dalam hatinya, entah alasan apapun yang membuat sahabatnya itu malas menghadiri pertemuan dengan Gavian bukan berarti ia menikmati aktifitasnya di atas kegugupan Gianna yang takut ketahuan memalsukan identitas!

Secara bentuk tubuh bila dilihat sekilas maka tidak ada perbedaan antara Gianna dan Wila—mungkin sedikit. Gianna memiliki tinggi seratus tujuh puluh empat centimeter sedangkan Wila seratus tujuh puluh satu centimeter. Dua-duanya sama-sama sejajar dengan pundak Gavian sehingga sama sekali tidak menimbulkan rasa curiga siapapun.

"Saya tahu saya belum sempurna untuk jadi pasangan kamu, Wila. Tapi yang mungkin bisa kamu pertimbangkan ... saya serius dengan hubungan kita dan bagi saya ini sudah bukan tentang hubungan kontrak perjodohan lagi."

Gianna hanya bisa termangu tanpa membalas satu kata apapun, pikirannya bercabang untuk menyiapkan beberapa kata menjadi kalimat agar menjawab pernyataan Gavian barusan. Beberapa detik Gianna mengingat sesuatu bahwa Wila sempat berkata tidak mengharapkan apapun dari perjodohannya dengan Gavian, lantas bagaimana dengan perasaan Gianna yang sangat mendukung mereka berdua?

Aku juga anggap hubungan kita serius jawab Gianna.

Ddrrtt..

Gavian tersentak mendapati getaran dari ponselnya, ia segera mengambil ponsel itu dari kantong celana. Mendapati wajah heran dari Gavian membuat Gianna menjadi takut.

"Ayah kamu kenapa telpon saya?"

See U on The Next ProgressTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang