11

2K 347 94
                                    

Kadar gula : 80%

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kadar gula : 80%

......

Derit ayunan taman menyatu. Seirama dengan presipitasi cair yang jatuh dari awan kota Milan. Anginnya cukup arogan, mengusik rambut hitam bocah yang tengah duduk sendirian di bangku taman. Hampir petang, tapi Celo masih tak bisa beranjak dari keterdiaman. Beberapa sisi kulitnya basah. Kanopi bangku ini tak mampu menghalau pias dari sang hujan.

Semua barangnya ditinggal di sekolah, sekali pun jam pintar yang biasanya selalu ada. Hanya sebuah buku dongeng terbaru yang ada di dekapan Celo. Buku yang menjadi alasan hari ini bolos jadwal kelas. Dan berakhir terjebak oleh hujan yang deras. Hentakan napasnya kembali terlepas, setelah puluhan kali naik ke udara lalu hilang entah ke mana.

" Coba kalau kakak ngizinin Celo, terus... temani Celo beli buku, Celo 'kan engga di sini sekarang. " Ucapnya pada genangan air yang berada tak jauh darinya. Pantulan tapak sepatunya buram, sebab intensitas hujan yang tinggi menghantam berulang kali genangan air di bawah sana. Celo bersandar di bangku, kedua kakinya naik agar pias hujan tak banyak mengenai.

" Kakak pasti marah sama Celo... " Sebenarnya, Celo tidak ingin melakukan cara ini. Bocah itu sempat izin pada Zion setelah jam makan siang tadi. Belum selesai Celo menyampaikan, Zion lebih dulu memangkas ujarannya dengan penolakan. Celo tak kehabisan akal untuk tujuan yang memang sudah jauh-jauh hari anak itu rencanakan. Kabur adalah satu-satunya jalan.

" Apalagi tu ayah bawel, mana mau temani Celo, pasti bilangnya sibuk terus. " Plester luka yang merekat di beberapa jari Celo amati. Luka dari lapel pin kemarin belum juga sembuh. Tadi pagi, Ayah yang mengobati. Kata Ayah harus dijaga, jangan sampai kotor. Celo mengelus permukaan buku, untung saja jarinya masih kering dan bersih.

Dalam peluk, buku itu Celo buka. Dua manik madu mulai menelisik bagian awal dari cerita. Sampul buku ini begitu sederhana, tapi isinya akan penuh dengan momen fantasi yang indah. Celo mulai menikmati waktunya sendiri. Sesekali, anak itu akan menempelkan sebuah perekat bergambar yang sengaja dibeli. Menandai kalimat buku yang menurutnya mengandung emosi.

Menit berikutnya, fokus Celo buyar. Kentalnya petrikor dari hujan ditepis habis oleh harum yang lebih menenangkan. Aroma khas dari jejak parfum yang begitu Celo kenal. Tempias hujan tidak lagi bisa mencapai sebab terhalang punggung sosok di hadapan. Serta sepatu pantofel kilat yang sejajar, seolah menunggu Celo untuk menaikkan pandangan.

" Kau—" Kelopak mata Celo sebentar memejam. Habis sudah, Ayahnya datang.

" Masih ingin pulang atau tidak? " Vokal Louis menyamarkan laju hujan yang masih bertahan. Celo nyaris meremat bukunya. Beruntung dirinya ingat jika barang lembaran itu baru dibeli dengan penuh perjuangan. Celo mengangguk sebagai jawaban.

" Merepotkan. " Berjam-jam Celo duduk di luar, dinginnya kalah total akan sebuah sahutan. Louis bergerak, hendak meraih pergelangan tangan Celo. Segera Celo singkirkan tangan Ayah darinya. Netra sang dominan terang-terangan ditatapnya garang.

CELOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang