bab 1

108 9 0
                                    

Gemersik daun tak berhenti semenjak bel besar dibunyikan. Mereka berseragam berjalan jalan diatas dedaunan kuning yang menjadi penyebab. Atmosfer dingin tak lagi dirasakan. Perasaan menggebu syahdu berkumandang di dalam kalbu. Senyuman hangat dengan kertas didada menjadi titik temu antara kelegaan dan kegembiraan.

Langkahnya semakin dipercepat. bahkan berubah menjadi larian kecil yang memikat. surainya berulang kali berjatuhan pada punggung kecil si penyandang tas.

"Aku pulang!"

Sepatunya diletakkan ditempat. Gadis itu memasuki istana tuanya. Kembali berlari menuju ruang tahta si ibunda.

"Ibu Lihat! aku mendapatkan nilai seratus."

Gadis itu menyodorkan kertas putih yang sedikit lusuh. Jangan terheran, sebab ia berulang kali memeluknya.

"Wah, bagus !Pertahankan."

Lantas wanita tua mengusap ujung kepalanya. Mencubit gemas pipi gembul nan lucu.

"Sebagai hadiah, ibu akan membuatkan udang pedas kesukaanmu. Pergilah mandi dahulu!"

"Baik!"

Gadis itu memasuki kamar. Meletakkan tas berat yang ia sandang sejak tadi keatas meja, Serta kertas jeri payahnya kedalam laci. Tuhan mungkin sudah mendengar doanya, hari harinya kian membaik. tak ada suara dengan tone tinggi, tak ada tangisan lagi dipenghujung hari. Ia merasa bahagia bukan kepalang. Ini impian yang didambakan seumur hidupnya.

Ya, Kedamaian.

Setelah mandi gadis itu mengeluarkan buku bukunya dari dalam tas. Ia ingat masih memiliki tugas matematika tadi. Dicari sampai ke kantong terbelakang, buku itu tak kunjung ditemukan. Di obrak abriknya rak buku, tapi masih tak diketemukan. Lantas ia mengingat ingat,

"Apa tertinggal dikelas?"

Melirik ke jam weker, Pukul menunjukkan 17.05 sore. Tanpa pikir panjang ia langsung berlari cepat keluar kamar dan rumah.

"Bu! Yoko pergi kesekolah sebentar ya! Buku yoko tertinggal!" Teriaknya berlari.

"Hei sudah sore ! Tunggu ayahmu pulang!"

Telat. Gadis itu sudah terlalu jauh berlari. Sang ibu menghela nafasnya dan menggeleng geleng. Lihatlah celemek dan spatulanya yang masih melekat erat. Anaknya itu keras kepala sekali.

Yoko menggeser pintu kelasnya. Untung saja matahari masih bersedia memberi pencahayaan. Senja tak begitu buruk. Begitulah pikir gadis itu.

Ia berjalan mendekati mejanya, berjongkok sedikit mencari buku dimaksud pada laci.

"Ternyata disini."

Yoko mengambil buku matematikanya. Lega rasanya buku itu tak hilang. Berjalan dengan ritme yang lebih tenang, Gadis itu melirik ke jendela yang berjejer rapi di lorong. Semuanya tanpa tirai dan langsung menghadap ke alam.

'Sejak kapan senja begitu indah?'

Yoko tiba didekat gerbang. Ada pos penjaga disana, tadi ketika datang tak ada satupun yang berjaga. Tapi sekarang orang itu berjaga.

"Sedang apa kau disini?" Tanya penjaga.

Langkah yoko tercekat. Tiba tiba ia tak bernafas dengan normal.

"Me-mengambil buku." Jawabnya.

"Mengambil buku?" Langkah penjaga itu kian mendekat. Gadis itu dengan lepas langsung berlari menjauh.

Matanya bahkan terpejam. Yoko berlari tanpa arah dan secepat mungkin. Entah kenapa ia tiba tiba merasa sedih. Suara renyahan daun semakin berisik. Suasana jauh lebih dingin dari musim gugur biasanya. Kakinya sudah menjerit meminta dihentikan.

Tepat pada suara daun terakhir kaki itu berhenti menapak. Yoko mengatur nafasnya, keringat dingin bercucuran dari kening ke leher. Sang gadis membuka matanya perlahan.

Lagi lagi ia berada dihutan ini. Hutan tempat kereta tua berada. Diceritakan dahulu bukit yang berada dihutan ini merupakan jalur kereta api, tapi saat hujan deras tiba bukit itu longsor. Saat itu pula kareta api sedang beroperasi membawa penumpang, dan malangnya terjadilah kecelakaan yang menewaskan semuanya.

kereta itu jatuh disini.

"Sial, kenapa aku selalu berlari kesini?"

Yoko merutuki dirinya. Langit perlahan menggelap. Seharusnya ia menuruti jeritan ibunya tadi.

Samar samar dirinya mendenger suara langkah lain yang mendekat. Lihatlah dirinya kembali takut sekarang. Apakah itu hantu?

Yoko diam, bahkan menahan nafasnya. Suara itu berhenti disebuah tempat yang ia yakini dibalik pohon dekat kereta tua berada. Terdengar pula suara daun yang disingkirkan dan sekop yang menggali tanah.

Sialnya lagi, rasa penasaran gadis itu mengundangnya untuk mendekat. Dengan ragu Ia mengintip dari balik pohon. Seorang laki laki muda? ya kira kira seusia kei (?) Sedang menggali tanah, untuk apa?

Yoko pasati ada seekor kain putih yang melilit sebuah benda. Untung laki laki itu membukanya sedikit, seekor burung mati.

"Untuk apa kamu menguburnya?"

Tanpa sopan dan takut yoko justru keluar dari pohonnya. Berbicara dengan nada polos kepada laki laki muda. Toh, tadi yoko sudah melihat kaki laki laki itu menapak tanah. Jadi pasti bukan hantu.

"Makhluk yang kehilangan jiwa mesti dikuburkan untuk membebaskannya."

Sang laki laki melihat gadis itu, tampak melega dan tersenyum hangat. Yoko sendiri tak mengerti. Bahkan hanya memperhatikan diam saat pemuda itu menguburkan burung dan berdoa setelahnya.

"Kenapa kamu berada disini?" Laki laki muda bertanya dan berdiri.

"Tadi aku kesekolah, mengambil bukuku yang tertinggal, dan entah kenapa aku berlari kesini."

Tampak hanya anggukan yang menjadi balasan. Yoko tak suka suasana canggung begini, itu sebabnya ia bertanya. Meski terkenal sok asik.

"Siapa namamu?"

Sambil berjalan pemuda itu menoleh. Dan lagi lagi tersenyum.
"Yuma." Jawabnya. "Kamu?"

"Aku yoko. Senang bertemu denganmu!"

Sang gadis mengulurkan tangan. Berniat bejabat tangan, saat pemuda membalasnya. Atmosfer dingin kembali terasa, terutama dari tangan laki laki itu. Apa karena terlalu lama berada diluar suhu tubuhnya menjadi dingin? Atau?

"Sudah terlalu malam. Lebih baik kamu pulang."

"Oh ya." Karena berperang didalam kepala, gadis itu jadi lupa jika sang jingga mulai mengundurkan diri dan diganti gelap. Wajahnya tampak risau, takut sang ibunda akan memarahinya.

"Jika begitu aku pulang dulu ya!"

Ia langsung berlari. Tapi berhenti sejenak ketika pemuda memanggilnya.

"Yoko, mari bertemu lagi disini setelah pulang sekolah!"

kereta tuaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang