Sungguh sudah tak lagi terhitung berapa kali Aric menghela nafas kemudian menghembuskannya dengan setengah rasa kesal.
Padahal jelas-jelas Dea yang mengajak dirinya untuk bertemu di sebuah restoran salah satu mall, namun dirinya pula yang sudah hampir lima belas menit berputar-putar hanya untuk mencari keberadaannya.
Memang benar pula Dea sudah mengirimkan titik lokasi tepat padanya, namun entah apakah gadis itu mengirimkannya dengan setengah mabok, saat teler, atau setengah kesambet setan, Dea mengirimkan titik lokasi yang ketika Aric datangi merupakan sebuah tempat panti pijat.
Apakah gadis itu bercanda?
"Halo Mbak Dea, saya sudah—"
"Lo dimana deh? Lama banget gak ketemu-ketemu dari tadi?" samber tanya dari seberang panggilan.
"Iya ini saya udah sampai di titik lokasi yang kamu kirimkan."
"Hah? Masa sih?"
"Iya, tapi adanya panti pijat refleksi. Restorannya tersembunyi apa gimana?"
"Bukan! Ish lo mah, nih ya dari pintu masuk awal mall, lo naik lift atau escalator sampe lantai tiga..."
"Udah."
"...terus lo jalan tuh ke kanan..."
"Udah."
"...terus lo datengin aja ada nama restorannya gede banget kok."
"Iya, saya udah muter-muter di lantai tiga dari tadi. Ini saya sekarang naik—"
Terhenti Aric di tempat kala mendapati gadis yang sedang berbicara dengannya dari panggilan telepon, sedang terlihat duduk nyaman di meja yang dipesan, di sebuah restoran lantai empat, yang berada di sisi kiri mall, bukan kanan.
"Nah, ketemu juga kan," rasa tak bersalah Dea tampilkan.
"Kenapa gak ngasih tahu nama restorannya aja tadi?" ikut duduk Aric berhadapan.
"Ntar lo gak tahu lagi tempat persisnya. Udah baik hati gue ngarahin lo tadi."
"Tapi gak ngarahin ke tempat yang salah juga. Saya udah muter-muter lima belas menit nyarinya."
"Ya maaf, jangan galak-galak juga," cemberut Dea dengan Aric yang lebih memilih untuk menelan mentah-mentah rasa kesalnya sendiri.
"Ya udah, mau ngobrolin apa?"
"Bentar atuh, pesan makan dulu. Lo gak laper apa gimana dah? Hmm mau pesan apa ya?" enteng Dea membaca buku menu.
Aric terdiam di tempat, serasa tak percaya pada pemandangan di hadapan bahwa ia dijodohkan dengan sosok gadis yang belum apa-apa sudah membuatnya kesal sendiri.
Memang sih dirinya belum mengenal Dea lebih jauh dari ini, tapi bahkan belum ada satu hari saling mengenal saja sosoknya sudah terlihat menyebalkan di mata Aric.
Tapi yang lebih mengherankan, masa iya perempuan ngeselin ini jadi pimpinan tertinggi daerah sebuah bank besar? Bagaimana cara gadis itu mencapai titik tertinggi dalam karir meski masih di usianya yang lima tahun di bawah dirinya?
"Kayanya menu ini enak deh. Lo mau pesan apa? Mbak-mbak..." Dea mengangkat setengah tangan memanggil seorang pelayan menghampiri.
"Sudah ada yang ingin dipesan, kak?"
"Iyah, saya pesan menu yang ini aja satu, sekalian minumnya jus mangga aja."
Catat sang pelayan, "Oke, ada lagi kak?"
"Ehm... kalo suami saya pesan makanan yang sama aja. Dia orangnya gak suka ribet," ide sembarang Dea begitu pede.
Aturan pertama dan paling utama dalam misi Dea kali ini adalah, coba tarik perhatian dan perasaannya. Persis seperti apa yang Rini ajarkan tadi.

KAMU SEDANG MEMBACA
CEO vs DOSEN
RomanceDea Julyzia Destiana mulai kehabisan akal dan cara untuk menyelamatkan karirnya sebagai RCEO bank ternama karena tertangkap skandal di kelab malam. Pun hal sial lain menimpa dengan Dea yang tidak tahu jika ia dibawa kedua orang tuanya untuk mengunju...