#9 - Hantu Bernama Masa Lalu

98 8 4
                                    

"Besok waktu kamu berangkat—"

Aric menoleh pada cara Dea keluar dari mobil begitu saja setelah mereka merapat ke dalam garasi rumah.

Pikir Aric tidak sopan sekali mengabaikan orang yang sedang bicara padanya. Namun ekspresi diam Dea sedari perjalanan pulang juga menaruh rasa penasaran Aric.

Aric secepat kilat mengekor, "Besok waktu kamu berangkat, kamu bisa bilang ke Pak Supriadi kalo kunci mobil cadangannya aku simpen di atas—"

"Kenapa gak bilang sendiri aja?"

"Jaga-jaga siapa tahu saya besok berangkat pagi-pagi. Kan kamu selalu berangkat agak siangan."

"Ya bukan salah gue dong kalo gue berangkat siangan," sewot Dea tak nyambung.

"I-iya bukan, maksudnya saya mau nitip pesan aja."

Dea membuka pintu rumah sampai bersusah payah membungkuk. Namun Aric juga melihat gemetar tangan Dea tiba-tiba hingga kunci di tangan tak sampai masuk ke dalam lubang yang semestinya.

"Susah banget sih dibukanya?!"

"Sini biar saya bantu—"

"Gak usah gapapa, gue bisa. Biasa pintunya emang susah banget dibuka—"

"Sini," ikut Aric mengarahkan hingga Dea membukanya dengan cukup kasar membuat Aric mempertanyakan apa bentuk kesalahannya kali ini.

Pikiran Dea yang sudah berantakan tak karuan dengan semua kekesalan memuncak, membuat Dea tak kuasa untuk terus menahan isakan sedari ia kembali dari resepsi pernikahan.

Pandangannya yang mulai mengabur karena air mata menyeruak keluar, alhasil membuat Dea jatuh terpeleset hingga tersungkur pada anak tangga pertama.

"De... Dea?!"

"Mending lo pergi deh."

Kosong, Dea merasa lelah tak memiliki tenaga sedikit pun untuk sekedar kabur dari Aric yang menghampiri panik. Hanya mampu meringkuk dan membiarkan perasaan kecewanya terbayar lunas malam ini.

"Masa saya tinggal gitu aja. Kamu kenapa?"

"Gak usah sok peduli deh, padahal emang dari awal lo gak bakalan peduli sama apa yang terjadi ke gue kan?"

"Saya peduli dong sama kamu, karena kamu juga peduli sama saya—"

"Kalo lo emang peduli sama gue hanya karena gue pernah baik sama lo, gue minta sama lo aja buat tinggalin gue sendiri. Bisa kan?"

"Ya kamu harus cerita sama saya, Dea."

"Bisa kan??!!"

"Gak bisa. Saya pernah ninggalin kamu waktu sedih gini, dan saya gak mau ninggalin kamu sendirian buat kedua kalinya. Saya gak pernah bisa se-jahat itu."

"Tapi kenapa orang lain bisa?"

Aric terdiam, tak tahu apa yang terjadi namun Aric bisa ikut merasakan garam yang ditabur pada lara hati Dea.

Dea yang selalu terlihat banyol, urakan, dan semau sendiri kini hancur di hadapannya, membuat Aric memutuskan untuk merengkuhnya dalam peluk dekap.

Meski Dea sempat menolak, namun Aric yang tak mampu memberi kenyamanan lain terus bersikukuh.

"Udah ya..." usap lembut Aric yang malah ditanggapi pecah tangis Dea kian terdengar. Ini gimana dah?

"Diles bilang kalo dia terpaksa nerima perjodohan dari mamanya dan kedua orang tua Tania. Gue kira selama ini gue udah ngertiin dia dengan ngebiarin dia milih bahagianya sendiri yang dia temuin sama Tania, tapi gue salah dan malah memperparah. Harusnya gue ada disana buat dia, Aric! Dia selalu mau gue ada disana, tapi gue yang egois gak pernah mau dengerin. Selama ini dia nerima semua beban itu sendirian. Diles bilang, dia udah cukup ikhlas buat ngeliat kebahagiaan yang gue punya buat lo, tapi itu bikin dia nyaris gila karena melepas gue adalah keterpaksaan yang ngebuat dia hampir mengutuk takdir. Gue jadi orang paling jahat ya?"

CEO vs DOSENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang