#7 - Bayangan Masa Depan & Deklarasi Perasaan

53 8 0
                                    

"Ini gimana, Dea? Aric gak angkat telepon mama lagi," tangis Bu Andin pecah di tengah kepanikan dan duka pada kabar yang baru diterima.

"Mama yang tenang dulu, tarik nafas ya—Pak Supriadi, boleh dicepetin lagi buat bisa sampe rumah sakit?" coba tengahi Dea di antara kepanikan yang melanda dirinya serta rasa bingung tak tahu harus berbuat apa.

"Iya, buk. Saya coba, ini ada kejebak macet di depan sana."

Dea mengambil inisiatif untuk menelepon Aric namun tetap sama dengan nada terputus.

"Kalo ambil jalan masuk kiri bisa gak, pak? Biar kita bisa lewatin macetnya?"

"Bisa ibu, tapi nanti—"

"Gapapa ya, pak? Kita lewat situ aja—"

"Ini gimana, Dea? Mama..." panggil histeris Bu Andin dengan mencengkram lengannya kecil.

"Ma, tenang dulu ya? Kita abis ini pasti sampe ke rumah sakit," bantu Dea merobek halaman kertas majalah untuk bisa ia kipas di depan wajah Bu Andin.

"Halo, mah-pah? Lagi dimana? Nenek Mas Aric meninggal. Iya Dea lagi dalam perjalanan ke rumah sakit ini udah di depan. Nanti kesini ya," beri kabar kecil Dea pada kedua orang tuanya sendiri.

Sampai ketika mobil mereka tiba di depan halaman UGD, Bu Andin keluar begitu saja tanpa aba-aba menghampiri Pak Danu yang masih ada di dalam ruang tindakan, dengan Aric berdiri kaku di depan jendela besar ruang penanganan.

Dea tak mampu untuk sekedar menyapa dan memanggil namanya, hanya tatap kosong dengan kesedihan duka mendalam terlihat dari bola mata Aric.

"Aku belum sempet ketemu lagi sama nenek setelah satu tahun pulang dari Singapura. Bodoh banget aku terlalu sibuk sama kerjaan aku sendiri. Padahal aku ada di titik sekarang juga berkat nenek. Dari waktu kecil, aku dikenalin semua hal karena nenek, aku selalu main sama nenek, diceritain banyak karena nenek. Sampe sekarang juga aku belum bisa ngasih apa-apa, bahkan sampe nenek gak ada."

Tersentuh haru batin Dea pada cara bercerita Aric yang dilengkapi dengan penyesalan besarnya.

Aric yang selalu ia kenali selalu tenang dan kalem, kini hanya terpasang ekspresi kecewa dan kesal jadi satu.

Bahkan pada cara Aric yang memanggil dirinya sendiri dengan panggilan 'aku' alih-alih 'saya' seperti biasa, menandakan bahwa laki-laki itu seperti tak memiliki ruang untuk melampiaskan kekecewaan.

Dea yang menaruh rasa iba serta kasih mendalam, serta tak ingin Aric menyalahkan keadaan atau dirinya sendiri, untuk pertama kalinya memutuskan menelungsupkan jemari tangannya pada Aric dan mengeratkan kencang.

Berharap bahwa hangat tulus perasaannya, mampu dirasakan Aric dengan sama pula.

"Aku bahkan belum ngasih tahu kabar bahagia ke nenek kalo kita udah menikah."

Dea tak tahu apa arti dan maksud ucapan Aric, namun pernyataan bahwa Aric ternyata merasa bangga dengan status sebagai suaminya membuat perasaan Dea tertohok sedemikian keras.

Dalam satu dekap pada lengan Aric pula, Dea menyenderkan kepala pada bahu Aric yang bidang.

Melihati sosok yang selalu senang dan ceria kini berduka mendalam, memunculkan satu ketidak relaan dalam diri Dea apalagi menyangkut diri Aric sebagai suaminya.

Di titik ini, entah mengapa Dea tak ingin laki-laki itu bersedih, bahkan pada hal kecil sekalipun.

Hingga sebisa mungkin Dea berusaha memberi kenyamanan besar, memberi seluruh rasa aman di dunia untuk bisa membuat Aric baik-baik saja. Apapun caranya.

---

"Kok tiba-tiba dateng kesini, kebiasaan banget ya," sambut Diles pada kehadiran Dea nampak cantik mengenakan dress-nya.

CEO vs DOSENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang