#6 - Rencana Keluarga dan Kebenaran Yang Terkuak

59 7 0
                                    

Selesai melewati hari panjang di kampus, perasaan Aric ingin sekali kembali pulang ke rumah sendiri yang sudah ia tinggalkan beberapa hari.

Tidak ada tempat tinggal yang lebih nyaman dan se-indah rumah sendiri. Langkah lemah mencangklong tas kerja berisi laptopnya, semilir angin sore menerpa wajah kala ia tiba di halaman teras, benar-benar jadi kebiasaan yang sangat Aric rindukan.

Namun baru ia membuka pintu dan menghampiri dapur untuk menyapa Bu Andin, langsung dikejutkan dengan kehadiran satu sosok yang tak terlintas di kepala akan berada disana.

"Lohhh Aric, udah selesai aja. Tumben kesini—ohhh mau jemput istrinya ya?"

"Iya dong tante, Mas Aric kan perhatian banget sama aku," centil Dea melambaikan tangan.

Rasa heran tak mampu Aric sembunyikan. Perasaan tadi malam gadis itu mendiamkan dirinya, kenapa ia kembali berubah bertingkah tengil seperti itu?

"Ya ampun penganten baru so sweet banget. Istri kamu ini lagi belajar bikin opor sama rendang, katanya pengen banget masakin kamu buat bekal di kampus. Rasanya udah enak banget loh, berbakat banget si Dea ini."

"Hihi tante bisa aja. Mau nyicip gak, mas?"

Dea yang melambai tangan entah sedang merencanakan apa, mengundang penasaran Aric untuk menghampiri.

Sampai ketika Dea menyodorkan satu sendok kuah opor untuk bisa dicicipi, Dea sengaja menyuapkannya penuh penekanan membuat Aric kelabakan dan serasa terkena jebakan batman.

"Enak gak, Mas Aric? Enak kannn?" tanya Dea lebih seperti mengancam.

Aric sedikit terbatuk berasa ingin muntah darah, "Enak."

"Duhh lucu banget emang ya kalo pengantin baru. Kalian pulangnya nanti agak maleman aja loh ya. Nanti kita makan malem bareng-bareng nunggu papah sama Fia pulang dulu. Gak lama kok. Bentar, mama mau ambil sesuatu dari kamar. Dea, abis ini kuahnya di aduk lagi ya, biar santannya gak mengental," colek Bu Andin pamit.

"Iyah mah, pasti."

"Istri kamu dibantuin gih, biar romantis gitu."

Aric mengusap ujung kening tak memiliki pilihan lain.

"Ehemmm—disuruh bantuin tuh," sindir Dea selepas hilangnya Bu Andin.

Aric berjalan menghampiri satu kompor menyala dengan masakan opor sedang diracik, berdiri saling berdampingan berusaha tak memberi celah pada orang lain untuk ikut menguping.

"Kamu kenapa bisa kesini?" to the point Aric.

"Loh, emang gak boleh? Kalo gak boleh ya udah gue pulang aja—"

"Udah gak marah lagi?"

"Nggak kok, siapa yang marah?"

"Terus kenapa ngediemin saya?"

"Gue gak ngediemin lo kok. Lo nya aja yang gak ngajak gue ngobrol."

"Tanpa perlu saya ajak ngobrol juga kayanya kamu gak mau bales ucapan saya."

"Sok tahu."

"Kelihatan dari cara kamu yang kaya gak sudi ngelihat saya."

"Plis deh, gue gak gitu juga. Berasa gue sadis dan jahat banget dalam cerita lo."

"Terus kenapa?"

"Gue bukannya ngediemin lo, Aric. Gue kalo lagi badmood atau kesel juga gue bakal diem, daripada gue marah-marah yang malah bikin gue capek sendiri."

"Ya itu bener kan?"

"Tapi bukan itu—ya udah gue minta maaf deh ya. Gue bukannya marah sama lo, gue cuman lagi capek, pusing, badmood, sedih, nano-nano banget deh. Gue minta maaf udah bikin lo salah paham. Jadi gak usah ge-er lagi deh ya, gue gak marah sama lo kok."

CEO vs DOSENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang