Pemandangan bintang-bintang di langit merupakan dekorasi terindah sepanjang orang-orang menikmatinya dengan bertemankan sunyi. Dengan dikawani alunan serangga yang sudah menjelma menjadi paduan suara pada upacara bendera. Hanya saja ini malam hari. Di mana orang lain tengah merebahkan diri di kasurnya masing-masing, tetapi lelaki itu sedang sendirian menikmati susu hangat di meja belajar dengan mengedepankan jendela yang terbuka lebar.
Sedari tadi, kening lelaki itu berkerut tidak jelas. Bibirnya komat-kamit seperti sedang membaca mantra. Matanya tajam menatap satu per satu bintang di langit. Memang tidak ada hal yang paling "gabut" selain menghitung bintang kecil di langit. Berjam-jam pun, tak hanya lelaki itu, semua manusia juga tidak akan bisa tahu berapa banyaknya bintang pada malam itu sehingga langit nampak berantakan oleh serakan bintang.
Lelaki itu menghela napasnya. Keningnya tidak lagi berkerut. Duduknya yang sedari tadi tegap menjadi santai bersandar di kursi belajar. Lelaki itu mengusap pelipisnya yang berkeringat, dia lelah sendiri.
Entah hasutan dari mana dia memilih diam untuk malam itu. Sempat bayangan-bayangan berteriak sorak di kepalanya hingga membuatnya melamun tidak menentu. Seolah sunyinya kegelapan telah merasuki perjalanan telah lalu. Menjadikan ribuan asap berkelimbahan dalam sanubari usang.
Seakan tengah mengevaluasi kejadian telah lalu. Dia menyusunnya di lubuk batinnya. Tentu tidak boleh sampai lupa, karena masa lalu adalah kenangan.
"Sekolah ...," dia mulai menyebutkan peristiwa Minggu ini satu per satu. "Main catur, main game ... temani Raisa..., tawuran."
"..., masak ... perpustakaan, makan, mandi ... bolos bareng Rubay ... Lily ...."
Mendengar nama perempuan berkacamata itu disebut, tatapannya berubah buram. Bibir tipisnya mengatup. Aura malam ini serasa lebih dingin dari biasanya, sebab dilihat dari ekspresi lelaki itu: dia sedang memendam amarah. Hanya perempuan itu yang bisa membuatnya merasa paling menyebalkan.
Dia jadi teringat di saat dirinya diusir secara tidak pantas. Saling rebutan jendela, saling mempertahankan ego masing-masing. Hanya saja dia yang berakhir pulang tanpa membawa keinginan yang diharapkan. Apalagi, di saat dia mengancam perempuan itu, di saat itu juga dia melihat perempuan berbalut kacamata itu menangis dalam diam.
Menangis, dalam diam.
Amarahnya memudar. Dia tidak jadi tersulut dan mengamuk tak jelas. Membayangi perempuan itu menangis karenanya sudah menjadikan egonya menurun. Dia jadi diam seribu bahasa.
Hanya satu kata yang menjadikan tatapannya menjadi sayu: bersalah.
Dia merasa bersalah. Kembali bayangan perempuan itu yang menangis. Mata bulat itu berlinangan, sesak menahan isakan. Dia yakin tangisan tanpa suara adalah tangisan tersakit. Juga dia tersadarkan, bahwa setegar perempuan, sekuatnya perempuan dan sesabarnya perempuan. Mereka pasti menangis. Hanya saja dia yang terlalu berpikir sempit, mengira seorang Lily yang terkenal tidak pernah marah terhadap paksaan, akan selalu tetap tidak akan marah ketika paksaan itu berubah brutal. Yang semua perempuan pun tak kuasa untuk tidak menangis menyalahkan takdir.
Lelaki itu mulai penat. Dia mulai menutup jendela, tengah malam begini hawa dingin telah meraja. Mengharuskan dirinya untuk segera tidur bertemankan selimut. Namun, sebelum itu, ia melirik berbagai foto palaroid yang ditempel asal di dinding sebelah kasurnya. Foto-foto masa menuju masa. Foto-foto itu yang membuatnya sedikit mengingat peristiwa yang terlupa.
Tatapannya yang menjelajahi lantas berhenti pada satu foto. Di saat dirinya masih berbalut kacamata dengan rambut ikal. Memakai seragam sekolah dasar dengan memeluk buku. Senyuman tipisnya tergurat kebahagiaan, mata setengah sipit dan bulat itu terpancar kesenangan yang tidak bisa dijelaskan.

KAMU SEDANG MEMBACA
Lily Kacamata - [ COMPLETED ]
Genç Kurgu"Gimana rasanya bebas? Gue gak tau ... yang gue tahu, gue selalu dikekang. Dan setiap hari rasanya kayak dicekik pelan-pelan." Hidupnya diatur. Langkahnya diawasi. Suaranya diredam. Sampai di satu titik, ia bertanya, "Kalau semua ini gak berubah...