KCHM 5 √

88 9 1
                                    

Mirna dan seluruh kru acara melihat penampilan konser Andin dengan perasaan campur aduk. Mereka yang telah lama bersama dengan Andin, tahu perjuangan serta rasa sakit macam apa yang gadis itu lewati hingga sampai di posisi puncak layaknya sekarang.

Berbanding terbalik dengan tuduhan tak masuk akal yang menimpa Andin di setiap langkahnya, nyatanya gadis itu berjuang keras mengandalkan bakat yang dimiliki serta ketekunan.

Maka dari itu, walau terkadang Andin akan bersikap kekanak-kanakan layaknya yang terjadi hari ini, mereka tidak akan mengeluh ataupun menegurnya.

Venue telah dipenuhi banyak orang. Saat konser dimulai, teriakan para fans di tribun penonton terdengar keras seolah bisa meruntuhkan bangunan tersebut, "Starla, kami mencintaimu!"

Andin tersenyum, tangannya melambai-lambai di udara, menyapa para fansnya yang sungguh luar biasa. "Aku juga mencintai kalian. Terima kasih banyak sudah bertahan. Terima kasih karena kalian tidak lelah untuk mendukungku sampai sejauh ini. Aku, sungguh-sungguh berterima kasih pada kalian semuanya."

"Kalian pasti lelah," Andin mencoba melucu, berusaha mencairkan suasana agar tidak terlalu sendu sebab acara yang mau berakhir.

"Tidak! Kami tidak lelah!" Sahut fans menggema lagi.

"Akhir-akhir ini hidup jadi terlalu sulit bukan? Aku berharap kalian tidak mudah menyerah. Bagi kalian yang merasa sendiri dan kesepian, ingatlah, kalian masih bisa hidup dengan cinta. Mari, bertumbuh bersama-sama sampai kita menjadi tua."

"Ya! Ayo menjadi tua bersama!"

Andin tertawa, akhirnya sebagai salam perpisahan ia memberitahu, "Lagu ini akan menjadi lagu terakhir yang aku bawakan malam ini. Aku harap kalian menikmatinya."

Ia berbalik ke samping, memberi kode melalui kedipan jika dia siap.

Secara perlahan, iringan musik terdengar. Ia lantas berjalan ke tengah-tengah panggung utama, di mana sebuah grand piano berwarna hitam diletakkan.

Melihat adanya piano itu, sontak saja tribun penonton bergemuruh keras. Dan nama Starla dipanggil terus menerus seolah memberitahu, betapa senangnya mereka karena akhirnya dapat mendengarkan artis kesayangan mereka bermain piano lagi.

Tak lama kemudian, dentingan piano terdengar ke seluruh penjuru panggung. Teriakan penonton yang tadi bergemuruh, secara bertahap menghilang. Selain dari suara piano yang dimainkan, tidak ada lagi terdengar suara lain mengganggu.

Andin bernyanyi seolah-olah sedang berbicara, setiap emosi dari lirik yang dia ucapkan seakan memberitahu pendengarnya. Meski betapa sakit hatinya kini. Meski tahu jalan ke depannya akan terasa sulit, dia tak akan menyerah. Tak akan berhenti.

Dia akan tetap menjadi seorang penyanyi dengan nama Starla seperti yang di wasiatkan oleh sahabat tercinta.

Dia akan mengekspresikan setiap luka dan bahagianya menjadi sebuah lagu yang dapat di dengar orang lain yang memiliki kisah sama sepertinya.

Andin memejamkan matanya. Dia ingat beberapa menit yang lalu laki-laki yang tak diharapkan, datang untuk menemukannya dan menghibur dirinya yang sedih.

Al berlutut di depan Andin. Tangannya kemudian terulur mendekap gadis itu yang menangis masuk ke dalam pelukannya. Usapan lembut di punggungnya membuat Andin merasa ditenangkan, pelukan familier ini terasa sangat dia kenal. Tapi dia sadar kalau pelukan itu bukan berasal dari prianya.

"Ndin, apa yang kau tangisi? Setiap yang pergi tak mungkin bisa kembali. Percuma saja kau berkubang dalam kesedihan sampai melenyapkan mimpi sendiri seperti ini. Sebagai kakaknya, jika adikku itu melihatmu terpuruk begini, dia akan sedih di atas sana. Mungkin, Bas sudah menyalahkan dirinya sendiri karena membuatmu berubah seperti ini. Kematiannya adalah takdir dari Tuhan. Tak perlu kau terus tangisi." Nasehat pria dewasa itu dengan suara lembut.

"Sebagai gadisnya, bukankah kau harus bertanggung jawab atas janji yang kau ucapkan di makamnya waktu itu? Kau berjanji pada Bas akan melanjutkan mimpinya sebagai penyanyi dan di saat bersamaan kau juga akan raih mimpimu sebagai seorang pianis. Apa kau melupakan itu?"

Sepasang matanya yang jernih perlahan terbuka. Sebuah tekad kembali muncul setelah Andin diingatkan lagi mengenai mimpinya. Mimpi mereka berdua. Mimpi miliknya dan juga mimpi dari Bas.

"Ya, tak harusnya aku berkubang dalam sedih dan ratapan lemah dari memaki keadaan. Ini adalah jalan yang aku pilih." Batin Andin disela gadis itu tengah memainkan pianonya.

Alunan musik dan nyanyian dari suaranya yang merdu terus terdengar. Para penonton di tribun bersama-sama ikut menyanyi juga.

Kau kan tetap abadi~

Dalam kenang di balik kisahku~

Hadirmu 'kan terus terasa~

Dalam peluk terakhir yang tersisa~

Lampu kemudian padam. Beberapa suara terkesiap dari penonton terdengar bersahutan.

Andin juga tak kalah terkejut dengan lampu yang tiba-tiba mati.

Beberapa menit kemudian, lampu sorot menyinari tempat Andin yang duduk di kursi depan pianonya.

"Aaaaa!!!!"

Jeritan membahana dari tribun penonton hampir membuat Andin jantungan.

"Andin...."

Suara itu!

Berbalik, mata Andin tampak terkejut, tak percaya, sudut matanya berubah merah, berembun. Bibirnya ia gigit kuat saat dia melihat, wajah close-up Bas terlihat jelas di layar proyektor.

Senyuman di bibir laki-lakinya itu, menikam jantung Andin berubah menyakitkan.

Air mata bahkan sudah mengalir begitu senyuman yang lama tidak dia lihat kini kembali di hadapannya.

"Andin ...."

Hanya panggilan saja namun Andin merasa lemas sekujur tubuhnya, kalau saja dia tidak berpegangan erat pada badan piano, pasti tubuhnya sudah luruh ke bawah tanpa tenaga.

"Aku nyanyikan kau lagu ya. Pasti nanti sakitnya sembuh." Itu adalah kenangan di mana dia sedang sakit dan Bas dengan kekonyolannya menipu gadisnya dengan mengatakan, jika gadis itu selesai mendengar nyanyiannya, pasti sakitnya langsung sembuh.

Layar LED menampilkan adegan dimana Bas remaja sedang bernyanyi di sisi ranjang Andin yang terbaring sakit. Begitu lagu mencapai akhir, suara Bas yang selembut cello terdengar.

"Ndin, lekas sembuh."

Adegan lalu berubah.

Layar kemudian menampilkan siluet Andin yang duduk di kursi pianonya.

Melihat kenangan lama itu, Andin menangkup wajahnya dengan jari-jarinya yang gemetar, bahunya bergetar hebat dan isakan yang patah terdengar melalui mikrofon di depannya. Suara tangisnya yang menyedihkan, ditransmisikan pada orang-orang di bawah panggung, perasaan sakit dan sesak dari hatinya yang terkoyak, bisa dirasakan juga oleh para penggemarnya.

Beberapa orang di panggung tidak kuasa menahan tangis, dan bahkan sebagian wanita mulai melolong sedih.

"Starla, please don't cry!"

Teriakan penyemangat itu menggema ke setiap sudut panggung. Memberitahu Andin bahwa dia tidak sendirian. Ada banyak orang disekitarnya yang mencintainya, yang menyayanginya meski perkenalan itu berawal dari musik yang dibawanya.

Di samping panggung, Al menyilangkan tangan di dada. Meski dia bisa mengamati jalannya konser melalui layar yang disediakan khusus di ruangannya, ia tetap memilih berdiri di sini. Di tempat gelap di mana cahaya satu-satunya yang tertangkap retina matanya hanya Andin satu-satunya.

Beberapa tahun telah berlalu. Walau rasa suka tidak mendapat sambutan, ia tetap merasa puas dan bersyukur dengan kedekatannya bersama gadis yang ia suka.

"Jangan takut, Andini. Aku akan senantiasa berada di belakangmu. Melihatmu secara perlahan dan pasti menuju cita-cita yang kau impikan."

Bukan Cinta Biasa (TAMAT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang