KCHM 8 √

67 8 1
                                    

"Aku membuatkanmu beberapa makanan. Tidak perlu memikirkan diet untuk saat ini. Kalau kau tak lupa, kau memiliki libur selama sebulan. Jadi manjakan dirimu selama itu."

"Aku tahu. Tidak perlu kau jelaskan lagi."

Meski jawaban ketus kembali terucap, tapi Al menanggapinya dengan senyuman seperti biasanya. 

Andin menempati kursinya yang berhadapan langsung dengan Al. Selagi mereka sarapan, Al kembali memulai obrolan duluan. 

"Konsernya sukses besar. Kau mau minta hadiah apa padaku sebagai bonusnya?" 

Sebagai CEO terhadap karyawannya maupun artis-artis asuhannya, Al bukanlah orang pelit. Pria kaya raya itu terkenal akan sifat dermawannya di banyak aspek dan itulah nilai lebih yang pria itu miliki hingga membuat para kaum hawa menginginkannya. 

Sayang sekali, jika semua kebaikan dan kesempurnaan yang pria itu miliki belum mampu menarik atensi seorang gadis di depannya kini. 

Dia memiliki segalanya. Kekayaan, ketampanan, dan sifat baik namun hanya satu yang kurang. Al sudah dibuat patah hati berkali-kali oleh gadis yang dia cintai. 

"Meskipun aku menolak untuk meminta, kau tetap akan mengirimkan kado kan. Jadi tak perlu bertanya basa-basi, lakukan saja seperti yang kau mau. Toh, aku juga tak punya hak untuk menolak."

Al terdiam lama mendengar jawaban ini. Ia meletakkan sendok serta gapunya dan menatap lama wajah cantik Andin yang kini menunduk karena sedang makan sarapannya. 

"Kali ini kau kuberi kebebasan. Kalau kau memang menolak, aku tidak akan memaksanya."

Andin menghentikan kunyahannya. Dengan sepasang mata terkejut, ia mendongak. 

"Kau... apa?"

"Karena kau keberatan kuberi hadiah, maka ini adalah yang terakhir kalinya aku memberikannya padamu. Aku tidak mau membuat artisku tertekan karena masalah sepele seperti halnya dikirim hadiah oleh bosnya sendiri." 

Al menyudahi sarapannya. Ia bangun dari duduk tanpa repot membereskan piring-piring itu dulu.

"Aku akan pergi ke kamarku." kata pria itu lagi berlalu pergi tanpa menunggu jawaban dari Andin. 

***

Bersama dengan Al, Andin diantar pulang ke rumah orang tuanya setelah lebih dari beberapa bulan gadis itu disibukkan akan pekerjaan.

Mobil itu tiba di sebuah rumah lantai dua dengan desain bangunannya yang telah tua. Itu merupakan tempat tinggal Andin bersama kedua orang tuanya sebelum dia memutuskan tinggal mandiri dan membeli apartemen pertamanya setelah menghasilkan uang sendiri.

Sarah bergegas keluar begitu mendengar deru mesin mobil terdengar di depan rumah. Wanita yang berusia hampir setengah abad itu masih mempertahankan kecantikan remajanya walau usianya sudah tidak muda lagi.

"Andin, putri mama." Sarah merentangkan tangannya, bersiap memeluk putri semata wayangnya yang akhirnya mau pulang ke rumah.

"Ma, aku sangat merindukanmu."

"Begitu pula dengan mama, Ndin. Kau ini, bisa-bisanya tidak pulang dan selalu saja sibuk bekerja. Mama rindu sekali ingin bertemu denganmu." Sarah mengeluh sekaligus memarahi Andin yang lupa pulang.

"Aku minta maaf. Karena kami harus menyiapkan peluncuran album baru dan juga persiapan konser, kami cukup sibuk."

"Bagaimana dengan konsernya? Ayo kita masuk dulu." Ajak wanita itu seraya menggandeng putrinya.

"Al, kau juga. Biarkan saja mobilnya di situ, biar nanti Pak Supir yang memasukkan ke garasi rumah."

Al mengangguk mengerti. "Ya, tante."

Dua perempuan beda usia itu memasuki rumah.

"Konsernya berjalan lancar."

"Maafkan mama dan papa tidak bisa datang. Padahal itu adalah perayaan penting bagi karirmu juga." 

"Tidak apa-apa. Aku lebih khawatir kalau mama malah datang dan membiarkan papa tinggal sendirian padahal papa sedang sakit." ucap gadis itu dengan senyuman.

Ia benar-benar bersyukur karena kedua orang tuanya tidak datang ke konser. Dia tidak dapat membayangkan jika mama dan papanya melihat dirinya yang menangis sedih di atas panggung. Apalagi alasan tangisannya tak lain dikarenakan Bas. Pasti hati kedua orang tuanya akan hancur lebur mengingat sahabatnya itu.

"Bagaimana keadaan papa? Apa kata dokter?"

Memasuki ruang tengah, Sarah mengajak Andin dan Al duduk di sana.

"Gejala tipes dan juga kelelahan. Kau tahu sendiri lah bagaimana keras kepalanya papamu jika itu sudah berkaitan dengan perhelatan orkestranya. Meski mama sudah menyarankan agar papamu mengutamakan kesehatannya, dia tidak mau mendengarkan saran mama. Coba kau yang bicara, mungkin papamu mau mendengarkan nasehatmu, Ndin."

Keluarga Andin mempunyai grup orkestra yang sangat terkenal di bidangnya. Jika ibunya merupakan seorang pianis, maka ayahnya adalah seorang konduktor. Kesukaan Andin terhadap piano dan musik klasik tak lain dan tak bukan dikarenakan pengaruh kedua orang tuanya. 

"Baiklah, nanti aku coba bicara berdua dengan papa, Ma."

"Okey. Mama mau pergi dulu ke dapur. Kalian di sini dulu."

"Tidak perlu repot-repot, Ma. Sebelum kemari, kami sudah makan." Al yang tahu niat Sarah berkata dulu. 

"Benar kalian sudah makan?"

Andin mengangguk, "Sudah. Mama tidak perlu repot-repot. Di sini saja temani aku."

"Cuma menghangatkan makanan saja kok. Apanya yang repot? Bukan mama juga yang masak tapi bibi." ucap Sarah tidak jadi pergi ke dapur. 

"Ngomong-ngomong, masalah pesta pertunangan kalian, kami sudah bertemu dan sudah membahasnya juga. Michelle telah menghubungi kenalannya yang seorang desainer. Nanti, kalian tinggal pergi saja ke butiknya untuk melakukan pengukuran gaun dan setelan yang mau kalian gunakan."

"Haruskah aku pergi?"

Sarah menjitak kening Andin yang barusan mengeluh. "Tentu saja kau harus datang. Kau kan calon mempelai wanita. Masa Al sendirian pergi ke butik?"

"Aduhh... Mama tidak perlu menjitak segala kan bisa? Aku bukan anak kecil lagi!"

Melihat interaksi ibu dan anak itu, Al mengulum senyum simpul. 

Menyadari sikapnya yang mendiamkan calon menantunya, Sarah pun menyarankan agar Al pergi menemui ayahnya Andin. 

***

Saat itu malam hari. Diluar hujan begitu deras dan udara di sekitar menjadi lebih dingin. 

Seorang gadis sedang duduk di sofa single sendirian. Cahaya remang dari lampu di atasnya membuat bayangan dari profil samping gadis itu menjadi misterius. Kecantikan wajahnya sangat memesona ditambah dengan aura dingin yang kental di sekelilingnya. 

Pada saat sepasang matanya bergerak pelan, lengkungan bulu matanya yang membingkai netra cokelat mudanya terlihat indah. Sepasang mata itu menunjukkan kecemerlangan seorang gadis muda yang berada di puncaknya.

Ketika seorang pemuda yang berada tak jauh dari gadis itu melihat pemandangan ini, jakun pria itu bergulir naik turun. Dari lamanya waktu ia mengenal gadis itu, ini adalah kesekian kalinya dia menyetujui pendapat teman-teman sekelasnya tentang gadis tercantik di lingkaran hiburan agensi mereka. Tak peduli sudut mana dia melihat, gadis cantik ini seperti bukan manusia saja. Kecantikannya benar-benar langka. Sepenuhnya dapat membuat gila seorang pria.

Gadis luar biasa cantik itu lantas menoleh ke samping, ke arah dimana laki-laki seusianya sedang duduk tak jauh darinya. Sekilas, pandangan gadis itu tampak kosong, tapi itu hanya sebentar karena semenit kemudian gadis itu menunjukkan sikap normal kembali.

Pemuda yang dipandang pun tampak terkesiap dan wajahnya langsung memerah.

"Starla, apa kau sudah bisa menghubungi manajermu?"

Bukan Cinta Biasa (TAMAT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang