Hari itu lagi-lagi, Nani sendirian. Sudah pagi, tetapi kekosongan di sisi tempat tidurnya menyisakan rasa yang tak biasa. Dew sedang dalam perjalanan bisnis, meninggalkannya dalam kesendirian yang tak terelakkan. Dengan segelas kopi di tangan, dia melangkah ke balkon, menatap keluar, mencoba menemukan kenyamanan dalam keheningan pagi.
Rutinitas hari itu berjalan lambat, setiap detik terasa membawa beban. Sarapan pagi tanpa celoteh Dew tentang ide-ide gilanya atau tawa mereka bersama atas lelucon sederhana menjadi momen yang tiba-tiba terasa begitu berharga. Nani mencoba mengalihkan pikirannya dengan pergi ke kafe, melayani pembeli.
Saat makan siang tiba, Win menemaninya. Makan bersama dengan tenang. Dia juga tak lupa mengirim pesan singkat pada Dew, berbagi potongan hari tanpa kekasihnya, menanti balasan yang bisa sedikit mengusir sepi.
Setelah sibuk seharian dengan pelanggan, malam datang tanpa terasa. Dia pulang tepat pukul 8 8 setelah makan malam bersama Win.
"Na..." Suara itu, jari Nani tergantung di udara saat hendak menekan password apartemennya. Menoleh pada sosok yang akhir-akhir ini datang ke kafenya.
Bible berdiri dengan pakaian acak-acakan, wajahnya kuyu, mabuk.
Di tengah malam yang dingin dan sunyi, jantung Nani berdegup kencang saat melihat sosoknya, Bible berdiri goyah dengan mata yang sembab dan nafas yang berbau alkohol. Malam yang seharusnya tenang tiba-tiba berubah menjadi momen yang penuh ketegangan.
Dengan Dew yang tidak ada di rumah, situasi menjadi rumit. Bible dalam keadaan mabuk, memulai rentetan kata-kata yang tidak jelas, mencampuradukkan permintaan maaf dengan kenangan masa lalu yang seharusnya sudah terkubur. Suasana hatinya campur aduk, antara rasa iba dan keinginan kuat untuk menjaga jarak.
"Bible, kita sudah berakhir. Tidak perlu meminta maaf, kesalahan ini murni berasal dariku." Dia berbicara untuk menenangkan Bible.
Dia berusaha tetap tenang, menyadari bahwa situasi ini membutuhkan penanganan yang bijaksana. Dengan suara yang tegas namun lembut, ia berusaha menenangkan Bible, meminta untuk pulang dan beristirahat. Setiap kata yang diucapkannya dipilih dengan hati-hati, berusaha tidak memperburuk keadaan.
Malam itu, di bawah sinar lampu koridor yang agak remang-remang, ia menghadapi masa bahagia terlarang yang tiba-tiba muncul kembali. Meskipun situasi tersebut penuh dengan ketidakpastian, dia mengambil langkah yang mantap, menunjukkan kekuatan dan kematangan dalam menghadapi situasi yang tidak diinginkan.
Setelah Bible pergi, ia membuka pintu agak menghela napas lega, dan berharap kejadian ini tidak akan mengganggu kedamaian yang sudah susah payah ia coba untuk dibangun. Tapi dia salah, saat pintu terbuka tubuhnya terdorong dengan kekuatan besar, Nani hampir tersungkur ke lantai, pintu di tutup dengan bunyi yang keras. Jantungnya berdegup kencang saat dia menatap Bible lah yang berdiri dengan seringai tipis di wajahnya. Ruang apartemennya masih gelap, hanya cahaya bulan yang mengintip ke arah mereka berada.
"Bible, apa yang kau lakukan?" Suaranya gemetar, Nani ingat betul bahwa Dew meninggalkan kamera pengawas di ruang tamu. Dia tak sengaja memergokinya saat berkemas kemarin malam.
Langkah Bible terhuyung-huyung untuk mendekati Nani. Dia juga bisa melihat dengan samar kaki Nani goyah saat melangkah mundur menjauhinya, wajahnya yang terlihat kebingungan. Kamar yang seharusnya dipenuhi dengan kehangatan cinta yang dulunya dielu-elukan, kini diisi oleh ketidakpastian dan ketidaknyamanan. Angin malam yang bertiup lembut membawa getaran aneh, menciptakan ketidakseimbangan yang terasa di udara.
Pandangan mata yang berkabut dan bibir yang gemetar mengungkapkan cerita pahit dari keputusasaan.
"Bible, apapun yang sedang kau pikirkan saat ini... Jangan lakukan." Nani memperingati.
KAMU SEDANG MEMBACA
[BL] Antara Cinta dan Pengkhianatan [DewNani]✓
FanfictionKeegoisan adalah api yang membara di dalam dada, Menyala dengan nafsu dan keinginan yang tak terpuaskan. Seperti nyala api yang menghangatkan, namun juga membakar, Ia membawa kecemasan dan ketidakpuasan yang tak terpadamkan.