Meskipun sudah berjanji pada Tom untuk menahan diri, dia tetap saja mendatangi Harry di kamarnya.
Tom bisa marah, nanti. Tapi dia tidak peduli. Bagaimana mungkin dia tahan berdiam diri begitu saja saat pemuda yang sudah ditunggu-tunggunya sekian lama sekarang ada di rumah yang sama dengannya ?
Dia berdiri di sudut ranjang, mengamati Harry yang tertidur pulas seperti bayi.
Sejenak kemarahan menyelimuti hatinya,
Sampai kapan dia hanya bisa melihat Harry di saat pemuda cantik itu sedang tertidur?
Tom harus cepat. Mereka sudah sepakat tentang Harry, padahal jarang sekali mereka berdua sepakat. Dia dan Tom bertolak-belakang dalam segala hal.
Tom cenderung baik hati dan menggunakan cara-cara pintar untuk meraih tujuannya, sedangkan dia selalu menggunakan cara-cara licik – licik, bukan pintar – untuk mendapatkan apapun yang dia inginkan. Dan seperti yang Tom katakan tadi, dia sangat kejam.
Tapi Harry adalah submissive yang sudah menyentuh perasaannya. Mungkin Harry sudah melupakannya, bahkan mungkin pemuda itu tidak menyadarinya, tapi kejadian dua belas tahun lalu itu tidak akan pernah dilupakannya. Pertemuan pertamanya dengan Harry sekaligus hari di mana dia memutuskan akan memiliki Harry.
Tom harus memaklumi ketidaksabarannya, dia sudah menunggu selama dua belas tahun. Menunggu dan menunggu sampai Harry siap menjadi miliknya. Dan sekarang pemuda itu ada di depan matanya.
Dia mendekat, tangannya menyentuh pipi Harry dengan lembut. Harry bergeming, masih pulas, tidak menyadari ada sosok yang mengamatinya lekat di tepi ranjangnya.
“Kau milikku, Harry, jangan lupakan itu.”
***
Harry bermimpi. Dia berada di sebuah taman hiburan yang sangat ramai. Penuh dengan pedagang dan para orangtua yang menggandeng anak-anak mereka. Suara musik dari berbagai stan permainan dan suara-suara manusia terdengar bercampur menjadi satu, riuh rendah di telinganya.
“Harry, jangan ke situ.” suara neneknya terdengar memperingatkan.
Harry mengernyit. Neneknya masih hidup? Dia menolehkan kepalanya dan mendapati neneknya berdiri di belakangnya, neneknya benar-benar masih hidup. Hidup dan tampak lebih muda.
Dengan bingung Harry mengamati sekeliling, dan menyadari kalau bukan dia yang dipanggil neneknya. Di sana berdiri seorang anak, mungkin delapan tahun, kurus, dan agak canggung. Itu adalah dirinya yang masih berumur delapan tahun!
“Jangan bermain terlalu jauh, Harry, nenek tidak mau kamu tersesat, di sini sangat ramai.” sang nenek menggandeng tangan Harry kecil. Lalu membawanya ke sebuah kursi kosong yang terletak di pinggir taman.
“Duduk di sini dulu, nenek akan membelikanmu es krim,” kata neneknya sambil menunjuk stan es krim dengan antrian pembeli yang panjang, yang terletak kurang dari seratus meter dari tempat mereka, “Jangan kemana-mana dan jangan berbicara dengan orang asing. Kalau ada apa-apa teriak saja, nenek pasti akan mendengarnya.”
Harry kecil mengangguk, tapi matanya memandang sekeliling dengan penuh semangat.
Harry tetap mengamati dari kejauhan, kenangan ini masih terpatri samar-samar di benaknya, kenangan saat pertama kali dia di ajak ke taman hiburan.