Debar di jantung Harry makin kencang. Perasaan ini sama seperti perasaan seekor tikus yang terperangkap dalam cengkeraman kucing besar. Kucing itu tidak ingin memakannya dulu, dia lebih memilih bermain-main dengan korbannya, membuatnya kaku ketakutan, sebelum menelannya bulat-bulat.
“Ti-tidak, aku hanya sedikit lelah.”
“Kau sudah tidur seharian ini, tidak mungkin kau lelah.” Tom masih berbisik pelan di telinga Harry. Lalu tanpa disangka-sangka, lelaki itu menunduk makin dalam, jemarinya menyingkap kemeja Harry sehingga menampakkan pundaknya yang rapuh. Dengan gerakan sensual yang mengancam, lelaki itu mengecup pundak Harry, ringan bagaikan kupu-kupu, tapi membuat Harry gemetaran, “Kau bisa menemaniku bercakap-cakap malam ini. Aku kesepian.”
Apakah lelaki ini mabuk? Harry bertanya-tanya. Tubuhnya gemetar ketakutan. Ingin melepaskan diri, tetapi terhimpit oleh Tom di pintu. Dia takut lelaki ini berbuat kasar kepadanya, karena sepertinya lelaki ini dalam suasana hati yang buruk.
“Lepaskan aku, Tom.” Suara Harry pelan, dan gemetar, tetapi dia berusaha terdengar tegas.
Tom terkekeh pelan di belakang Harry. Tetapi lelaki itu melangkah mundur satu langkah dan melepaskan Harry. Membuat Harry langsung menghembuskan napas lega merasakan tubuh Tom menjauh.“Selamat beristirahat, Harry …”
Harry tidak sempat mendengarkan lagi. Dia langsung membuka pintu ruang makan itu dan setengah berlari ke kamarnya. Dengan tergesa dikuncinya pintu kamarnya, lalu bersandar di pintu itu dengan ketakutan. Aura lelaki itu berbeda, ada nuansa kejam di sama. Tom yang di ruang makan tadi mirip sekali dengan Tom dalam mimpi Harry beberapa waktu lalu …. Lelaki yang mengatakan bahwa namanya adalah Voldemort.
Harry memandang ke sekeliling ruangan. Setelah memastikan bahwa pintunya terkunci rapat, dia melangkah ke ranjang dan duduk di sana dengan gelisah. Ini tidak bisa dilanjutkan. Dia tidak bisa tinggal di rumah ini. Ada sesuatu yang gelap dan misterius yang menghantui rumah ini. Membuatnya merasa diawasi, merasa tidak tenang setiap saat. Harry harus keluar dari rumah ini, dia mungkin bisa menemukan teman di daerah terpencil yang bisa menampungnya, jauh dari jangkauan para wartawan. Ya, sebesar apapun resikonya, Harry merasa dia harus segera pergi dari rumah ini.
***
Ketukan di pintu kamarnya membuat Harry terbangun dari tidur lelapnya. Dia membuka matanya dan mengerjap merasakan terpaan sinar matahari menyilaukannya. Astaga ... sudah jam berapa ini?
Sepertinya karena semalam dia lama tidak bisa tidur, dia bangun kesiangan. Dengan gugup dia duduk di ranjangnya. Ketukan itu terdengar lagi, membuat Harry waspada. Dia memang sengaja mengunci pintunya, hanya sekedar berjaga-jaga atas ketakutan yang tidak bisa dijelaskannya.
“Siapa?”
“Ini Sirius.” Suara Sirius sang kepala pelayan terdengar di luar, “Tuan Tom memintaku memastikan kau baik-baik saja, karena kau tidak turun untuk sarapan.”
“aku baik-baik saja.” Harry merapikan rambutnya dan memastikan piyamanya rapi, lalu melangkah turun dari ranjang dan membuka kunci pintu. Sirius tampak berdiri di sana dengan ekspresi datarnya.
“Aku bangun kesiangan, mungkin karena pengaruh obat dari dokter, maafkan aku tidak turun untuk makan malam.” Harry tersenyum meminta maaf kepada Sirius.
Ada seulas senyum kecil yang muncul di wajah Sirius yang datar. Tetapi hanya sekerjapan mata dan menghilang, hingga Harry sendiri tidak yakin dengan penglihatannya. “Tidak apa-apa, tuan Harry. Aku senang kau baik-baik saja. Oh, ya, kalau kau sudah siap, Tuan Tom ingin bertemu di ruang kerjanya.” Sirius sedikit membungkukkan badannya, “Kalau begitu aku permisi dulu.”
Harry termangu. Kenapa Tom ingin bertemu dengannya? Dibayangkannya suasana makan malam kemarin yang menakutkan, membuatnya merasa enggan.
Sementara itu, langkah Sirius tampak meragu, kemudian dia berhenti melangkah dan berputar, menatap ke arah Harry yang masih berdiri di ambang pintu, “kau mengunci pintu kamarmu.” Sirius menatap Harry dengan tatapan tajam.