🍒Selamat membaca🍒
Deru motor Aidan meninggalkan asap tipis di belakang. Dia melaju dengan kecepatan yang sedang. Meski usianya belum cukup untuk memiliki Surat Izin Mengemudi, Aidan nekat ke sekolah mengendarai motor. Lagi pula, rute menuju sekolahnya yang dia lewati bukan jalan raya besar dan tidak pernah dilakukan razia polisi. Sebagian orang–Aidan yakin bukan hanya dirinya–memang membuat SIM bukan sebagai sertifikasi kelayakan mengemudi, tetapi untuk melindungi diri dari tilangan polisi.
Sekolah Aidan juga tidak melarang para siswa mengendarai motor. Kebijakan sekolah sempat mempersyaratkan SIM bagi siswa yang membawa kendaraan sendiri. Namun, para siswa lebih cerdik. Mereka memilih memarkir motor di rumah teman yang dekat sekolah daripada harus memenuhi aturan itu. Akhirnya aturan pun dihapus.
Papa awalnya menyiapkan sopir untuk mengantar jemput Aidan ke mana pun. Namun, pertengahan semester pertama kelas X, Aidan meminta dibelikan motor dan diberi izin mengendarainya ke sekolah, sebagai ganti atas kerelaannya mempelajari seluk beluk perusahaan selama masa liburan.
Motor Aidan menyalip mobil-mobil yang bergerak tersendat. Jalanan di pagi hari memang selalu padat, tak peduli hari kerja maupun akhir pekan. Semua orang seolah selalu sibuk setiap saat. Tidak ada waktu untuk beristirahat.
Jarak dari rumah ke sekolah bisa ditempuh dalam waktu kurang lebih lima belas menit. Berbeda kalau Aidan diantar menggunakan mobil. Bisa molor sampai tiga puluh menit atau bahkan satu jam. Untuk itulah Aidan dan banyak siswa lain lebih memilih berkendara dengan motor yang gesit.
Aidan terbiasa datang beberapa menit sebelum bel pelajaran pertama berdentang. Motornya sudah memasuki gerbang sekolah yang masih terbuka lebar. Dua murid laki-laki yang sedang berjaga, tampak bersiap untuk menutupnya. Aidan berbelok ke kanan setelah melewati tiang bendera di belakang patung Bapak Pendidikan Nasional yang dibuat setengah badan.
Begitu sampai di parkiran, Aidan menghentikan motor, melepas helm, dan mencantolkannya pada setang. Dia lalu merapikan rambut hitamnya yang dipotong rapi itu dengan jemari. Poninya terkibas ke atas, tetapi jatuh lagi. Pandangannya menyisir area parkir yang sudah lumayan penuh. Sepasang mata bulatnya membelalak saat mendapati seorang cowok sedang tersenyum lebar sambil melambaikan tangan.
“Hai, Dan! Gue menang!” Gamal–teman sebangku Aidan–menghampiri dengan tawa ceria, sampai-sampai kedua matanya membentuk bulan sabit terbalik karena tertarik garis pipi.
Cowok yang lebih tinggi satu sentimeter dari Aidan itu bergegas mendekat dan merangkul bahunya. Tawa congkaknya masih membahana, sedangkan Aidan berdecak sebal. Kemarin mereka membuat taruhan, siapa yang datang belakangan akan mentraktir makan siang. Gamal sering kali datang bertepatan dengan bel masuk, tetapi hari ini sepertinya Aidan sedang sial.
“Asyik! Mi ayam gratis!” seru Gamal senang.
Aidan menepis rangkulan Gamal, lalu berjalan mendahuluinya. Mentraktir Gamal bukan masalah besar baginya, Aidan hanya kesal dikalahkan oleh teman sebangkunya itu.
“Dan! Tunggu!” Gamal menyusul langkah Aidan, lalu merangkul bahunya lagi.
“Nggak usah rangkul-rangkul!” hardik Aidan.
“Sensi amat masih pagi. PMS, ya?” Gamal malah meledek.
“Badan lo berat!” timpal Aidan masih dengan nada protes.
Sekuat apa pun Aidan berusaha menepis Gamal, cowok itu terus merangkulnya kembali. Mereka baru bertemu di SMA Budhi Dharma ini. Saat kelas X, mereka tidak begitu akrab. Setelah dipertemukan lagi di kelas XI sebagai teman sebangku, mereka jadi sahabat karib. Apalagi dua-duanya memiliki hobi yang sama, sepak bola. Meski Gamal tidak diizinkan ikut klub oleh orangtuanya karena pernah cedera.
KAMU SEDANG MEMBACA
Way Back Home
Teen FictionPada ulang tahun yang ke-17, Nadia mendapatkan kejutan yang tidak disangka-sangka. Jauh melebihi ekspektasinya. Bahkan tak masuk logika. Awalnya dia ingin pergi jauh. Sekarang dia hanya ingin semua kembali seperti semula. Akankah Nadia menemukan jal...