Bab 3

34 7 12
                                    

🍒Selamat membaca🍒

Lilin padam. Riuh tepuk tangan menggema disertai sorakan bahagia. Nadia menoleh pada bocah lelaki berambut jamur di sebelahnya. Mereka tersenyum lebar. Bibir Mama yang dipoles lipstik merah merona juga menyungging senyum semringah. Lagu ‘Selamat Ulang Tahun’ masih dinyanyikan dengan suara lantang. 

Semua kebahagiaan itu nyata. Pernah terjadi. Sempat Nadia rasakan dalam hidupnya. Sebelum semua berubah pada satu tahun berikutnya. 

Kangen

Nadia merindukan semua kenangan indah itu. Dia merindukan semua orang yang merayakan hari ulang tahunnya. Rindu nyanyian dibarengi tepuk tangan berima itu. Rindu meniup lilin, lalu memotong kue, dan membaginya pada orang-orang tercinta. 

Andai bisa kayak dulu lagi. 

Diam-diam Nadia menyimpan banyak harapan. Berharap sesuatu yang telah rusak bisa diperbaiki. Berharap yang retak masih bisa utuh kembali. Berharap hal-hal yang telah berlalu, bisa diulang dan dirasakan lagi. Sayangnya, itu tidak mungkin.

Perayaan hari istimewa Nadia dilakukan terakhir kali adalah saat ulang tahun ke delapan. Setelah itu, Mama sepertinya menghapus kata perayaan. Nadia tidak pernah mendengar Mama mengatakan selamat untuk setiap pencapaiannya. Naik kelas. Juara satu lomba debat. Lulus SD dan SMP. Diterima di SMA swasta terbaik di Jakarta. Bahkan hal sepele seperti selamat pagi atau selamat tidur pun tak pernah terucap dari Mama.  

Beberapa teman Nadia yang sudah merayakan ulang tahun ke-17 bercerita tentang bagaimana mereka mendapatkan perlakuan istimewa, dari keluarga, pacar, dan saudara. Sedangkan Nadia cuma punya Mama dan Mbak di rumah. Mereka pasti lupa. Bahkan ponsel Nadia pun sepi. Sepertinya teman-teman juga tidak ada yang mengingat hari kelahiran Nadia. 

Menyedihkan! 

Nadia jadi malas bangun dari tidur. Inginnya seharian ini membenamkan diri di kasur. Namun, dia harus ke sekolah. Mungkin saja teman-teman sengaja menahan diri untuk mengucapkan selamat ulang tahun melalui chat karena mereka sudah menyiapkan kejutan di sekolah. 

Memikirkan kemungkinan itu membuat semangat Nadia sedikit terpantik. Dia segera membuka mata, duduk di tepian ranjang yang terasa sedikit berbeda, lalu menjulurkan kedua kakinya. 

Nadia mengernyit, merasa sesuatu yang asing di bagian bawah perutnya. Dia ingat betul ini belum saatnya datang bulan meskipun siklusnya bisa lebih cepat. Lagi pula, rasanya juga berbeda. Kerutan di kening Nadia bertambah dalam saat melihat tonjolan di antara kedua pahanya yang tertutupi celana kulot hitam. 

“A–apa ini?” Jantung Nadia berdegup kencang. 

Apa ada ular yang merayap ke dalam celananya? Dari mana? Rumah Nadia tidak dekat dengan pekarangan ataupun rawa. 

Atau mungkin tikus? Tapi Mama selalu memanggil petugas untuk mengusir tikus dan serangga dari rumah mereka.

“Duh! Kebelet!” Nadia merasakan sesuatu mendesak ingin dikeluarkan.

Dengan terburu-buru, Nadia beranjak menuju kamar mandi yang ada di dalam kamarnya. Aneh. Tidak ada pintu di samping lemari. Nadia mengedarkan pandangan. Dia tidak mengenali ruangan ini. Kasurnya lebih sempit, hanya muat satu orang. Meja belajarnya pun berbeda. Tidak ada jendela besar yang terbuat dari kaca tebal untuk menengok ke kolam ikan di lantai bawah. Jendela itu terbuat dari kayu dengan dua daun pintu dan memiliki teralis yang posisinya melintang. 

“A–aku di mana?” Mendadak Nadia merinding. “Ini mimpi, ya?”

Nadia serta-merta memejamkan kedua matanya dengan erat. Berharap saat kembali membuka mata dia akan terbangun di kamarnya seperti biasa. Dia sering mimpi seperti ini. Berada di tempat asing dengan hasrat ingin buang air kecil. Sungguh menyiksa! 

Way Back HomeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang