🍒Selamat membaca🍒
Nadia tertegun, merasa aneh melihat diri sendiri, sekaligus terkejut karena penampilannya sangat tidak ‘Nadia’ sekali. Rambut hitam panjang yang biasa disisir rapi dan diberi jepitan lucu atau dikucir dengan pita, kini tampak acak-acakan. Bibir yang seharusnya dipoles sedikit dengan lipbalm itu pun terlihat pucat pasi. Bahkan kulit wajahnya seperti pasien rumah sakit yang kabur. Mengenaskan.
Seharusnya sekarang Nadia duduk berhadapan dengan sosok yang paling dirindukan. Bocah lelaki yang dulu memiliki potongan rambut seperti mangkuk terbalik. Bocah lelaki yang delapan tahun lalu pergi dan membuatnya menangis sesenggukan, sampai mogok makan berhari-hari.
Taman kota pagi ini begitu sepi. Maklum saja, sekarang bukan hari libur, dan masih jam sekolah. Hanya terdengar suara motor dan mobil dari kejauhan yang berlalu lalang.
Nadia terpaksa membolos karena kenyataan pagi ini terlalu membuatnya terkejut bukan main. Dia seperti orang linglung yang tidak tahu harus berbuat apa sampai sebuah telepon berdering. Aidan mengajaknya bertemu. Mereka duduk berdampingan di sebuah bangku kayu yang dibentuk menyerupai batang pohon, dengan posisi menyerong saling berhadapan. Daun-daun di ranting bergoyang tertiup angin yang sesekali datang.
“Lo mandi nggak, sih?” tanya Nadia sambil mengernyit risi mendengar suara asing yang keluar dari bibirnya. Suara Aidan.
Nadia–yang berada dalam tubuh Aidan–meringis kikuk melihat dirinya tersenyum tipis, Aidan yang sebenarnya sedang tersenyum. Rasanya aneh sekali. Juga mengerikan. Entah bagaimana Nadia dan Aidan bisa bertukar raga seperti ini. Nadia menguasai tubuh Aidan. Sebaliknya, Aidan terjebak di dalam tubuh Nadia.
“Cuma cuci muka sama gosok gigi,” timpal Aidan dengan suara cewek yang membuat dirinya tersentak. Dia beberapa kali menguntit Nadia, tetapi tidak pernah mendengarnya bicara. Sekarang justru suara itu keluar dari bibirnya.
Nadia lagi-lagi bergidik. Sungguh aneh mendengar suaranya sendiri. Berhadapan dengan diri sendiri tanpa adanya cermin, benar-benar tak masuk akal. Nadia merasa dirinya sudah gila, tapi ini nyata.
Sama seperti Aidan, Nadia juga belum mau mandi. Pengalamannya buang air kecil saja masih membekaskan trauma. Namun, dia sempat menyisir rambut dengan rapi sebelum datang ke sini.
Hening. Samar terdengar desau angin. Nadia dan Aidan sama-sama bingung mencerna situasi saat ini. Mereka merasa sedang berada dalam alam mimpi. Namun, entah bagaimana caranya mereka bisa terbangun dan kembali seperti hari kemarin.
Nadia memang merindukan Aidan, saudara kembarnya yang terpaksa ikut pergi setelah Mama dan Papa memutuskan bercerai delapan tahun lalu. Hampir setiap hari Nadia berharap bisa bertemu Aidan. Berbagi canda tawa seperti dulu. Bertengkar dan menangis bersama, lalu saling memaafkan dan kembali bermain. Masa-masa kecil indah mereka harus rusak karena keputusan orang-orang dewasa yang katanya paling mengerti hal terbaik untuk mereka.
Saat itu, Nadia dan Aidan masih terlalu kecil untuk mengerti bahwa kehidupan orang dewasa sangat rumit. Sedikit perbedaan saja mampu membumihanguskan rasa cinta yang sebelumnya sudah terpupuk selama bertahun-tahun.
“Gue emang pengen tinggal bareng lo dan Papa, tapi bukan kayak gini caranya, Ai,” ucap Nadia, diakhiri dengkusan gusar.
Aidan yang ada dalam tubuh Nadia mengangguk. Dia juga terkejut. Mana ada orang yang ingin menjalani hidup dalam tubuh orang lain? Ini akan sangat sulit.
Nadia sering kali membayangkan pertemuannya dengan Aidan setelah sekian lama akan diwarnai dengan tangis mengharu biru sambil saling memeluk. Bukan suasana serba canggung seperti sekarang. Jangankan memeluk, saling menatap saja rasanya sangat tidak nyaman.
KAMU SEDANG MEMBACA
Way Back Home
Teen FictionPada ulang tahun yang ke-17, Nadia mendapatkan kejutan yang tidak disangka-sangka. Jauh melebihi ekspektasinya. Bahkan tak masuk logika. Awalnya dia ingin pergi jauh. Sekarang dia hanya ingin semua kembali seperti semula. Akankah Nadia menemukan jal...