Bab 10

7 4 2
                                    

🍒Selamat membaca🍒

Nadia akhirnya kembali ke rumah. Masih dalam wujud Aidan. Dia hafal betul di jam-jam ini Mbak sedang ke pasar dan Mama masih di gym. Papa juga sudah pergi sejak pagi meskipun sekarang hari Minggu. Nadia tidak bertanya Papa akan ke mana. Dia pikir tidak perlu merecoki urusan bisnis Papa. 

“Ai, bukain pintu,” pinta Nadia setelah Aidan menerima panggilannya. 

Tidak lama kemudian, pintu rumah terbuka. Aidan muncul dan langsung menghampiri Nadia yang menunggunya di depan pintu gerbang. Aidan segera membukakan pagar besi berwarna putih itu. 

“Ngapain kamu ke sini?” tanya Aidan. 

“Kangen rumah. Kenapa? Nggak boleh?” Nadia menimpali dengan pertanyaan bernada sedikit ketus. 

“Bukan gitu. Kalau Mama atau Mbak pulang, pasti kaget lihat kamu–Aidan, di sini,” ujar Aidan. 

Sudah lama berpisah, tetapi bukan mustahil kalau Mama dan Mbak masih bisa mengenali Aidan. Penampilan Aidan tidak berubah seluruhnya. Ada fitur-fitur wajah yang tetap sama seperti dulu. Terutama bagian bibir dan mata. Mirip sekali dengan Nadia. Orang-orang yang mengenali mereka saat kecil, pasti merasa familier melihat mereka versi remaja. 

“Mama baru pulang tengah hari. Mbak kalau hari Minggu juga lama ke pasarnya. Suka sarapan bubur dulu, minum jamu, ngerumpi, terus gosip sama tukang ikan,” ungkap Nadia panjang lebar. 

“Kalau tetangga yang lihat kamu, gi–”

Nadia menyerobot masuk sebelum Aidan menyelesaikan ucapannya. Aidan hanya bisa menghela pasrah, lalu membuntuti langkah Nadia memasuki rumah melewati ruang tamu setelah melepaskan sepatu asal-asalan. Aidan segera merapikannya karena tidak tahan melihat sesuatu yang berantakan. Sementara itu, Nadia yang mengenakan hoodie abu-abu milik Aidan, langsung menuju ke kamarnya di lantai dua. 

Aidan menyusul Nadia setelah mengunci pintu. Dia berharap Mama dan Mbak tidak akan pulang sebelum Nadia meninggalkan rumah ini. 

“Ah! Nyamannya!” Nadia spontan menghempaskan badannya di ranjang dengan seprai polos berwarna abu-abu, entah didapat dari mana. Itu bukan miliknya. 

Aidan menarik kursi belajar milik Nadia. Dia duduk di sana sambil memangku kedua tangan dan memandangi saudari kembarnya. Tiba-tiba Nadia bangkit dari posisi duduknya. Mereka saling berhadapan. 

“Apa?” tanya Aidan karena Nadia semakin mendekatkan wajahnya.

“Ya ampun!” pekik Nadia sambil memegangi kedua pipi yang tidak lain adalah miliknya sendiri. 

Nadia bisa dengan melihat wajah sendiri. Bahkan lebih jelas daripada saat bercermin. Nadia memindai seluruh wajah itu. Aidan menepisnya karena mendadak tidak nyaman. 

“Lo apain muka gue?” Nadia memicing tajam. 

Aidan menggeleng, tidak paham maksud pertanyaan Nadia. Dia tidak melakukan apa pun pada wajah itu.

“Kenapa bisa muncul jerawat begini?” Nadia menunjuk bulatan kecil di atas alis kanan. “Lo nggak pakai skincare, ya?”

Aidan menjengitkan alis yang ditunjuk oleh Nadia. Tadi pagi memang muncul benjolan kecil di sana. Dia sempat berpikir itu akibat digigit nyamuk dan memilih mengabaikannya. Selama ini, Adian belum mengalami tumbuh jerawat meskipun tidak melakukan perawatan. Hanya mencuci wajah dengan sabun muka setiap pagi dan sore hari.

“Terus ini!” Nadia memegangi ujung rambutnya yang tampak kusut. “Kenapa jadi kayak gini? Lo apain, sih?”

“Nggak aku apa-apain, Nad. Serius!” elak Aidan yang memang tidak melakukan apa pun pada wajah dan rambut Nadia, bahkan seluruh tubuhnya. Dia hanya mandi dua kali sehari. 

Way Back HomeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang