Selamat membaca🍒
Biru pernah menjadi favorit Aidan, sebelum akhirnya beralih pada warna yang lebih pucat. Berada di tempat ini mengingatkannya pada seseorang. Meskipun Aidan masih tidak yakin kalau sekarang dirinya benar-benar berada dalam tingkat kesadaran yang normal. Rasanya seperti sedang berkhayal.Aidan duduk diam seperti patung tidak bernyawa. Dia memandang lurus ke depan, mencermati dengan saksama bayangan yang terpantul samar dari dinding kaca di hadapannya. Sepasang mata bulat dengan iris cokelat gelap. Rambut hitam tergerai. Serta kedua bahu sempit yang tampak merosot lesu.
Rindu itu tak cuma berat, tetapi sepertinya membuat Aidan mulai gila juga. Dia merasa sedang berhadapan langsung dengan cewek berpipi bulat yang belakangan sempat dikuntitnya beberapa kali.
“Kayaknya aku harus berani ketemu dia,” pikir Aidan, tetapi apa nyalinya sudah ada?
Raungan bocah perempuan itu masih membekas di benak Aidan, seperti baru saja terjadi kemarin siang. Aidan takut kalau dirinya nekat muncul lagi, hanya akan membangkitkan luka lama. Nyali Aidan masih dikalahkan oleh banyak kekhawatiran.
Aidan mengusap wajah dengan kedua tangan, terasa lebih lembut dari biasanya. Dia teringat hari ini harus ke sekolah lebih pagi karena ada rapat. Meski tak ada kegiatan apa-apa, dia juga lebih senang berada di luar rumah.
Bayangan cewek di dinding kaca ikut berdiri saat Aidan beranjak dari duduknya. Rambut hitam panjang yang tergerai ke depan dada tampak sedikit berantakan. Kelihatannya dia baru bangun tidur. Sama seperti Aidan yang juga baru bangun dan sepertinya masih ngelindur.
Aidan celingukan. Tata letak ruangan ini mengingatkannya pada kenangan beberapa tahun yang lalu. Saat dirinya bebas berlari bersama cewek itu, mengejar atau dikejar. Mereka senang melakukan semua hal berdua. Kadang bertengkar dan menangis, tetapi mereka tetap kembali bersama. Sampai akhirnya jarak benar-benar memisahkan mereka berdua.
“Tunggu! Ini nyata?” Aidan terhenyak.
Bagaimana caranya Aidan bisa berakhir di tempat ini? Dia yakin betul dirinya tidur di kamar sendiri tadi malam. Aidan juga bukan sleeping walker yang biasa ke mana-mana dalam kondisi memejamkan mata. Lagi pula, mustahil berjalan sejauh ini sambil tidur. Namun, ini sungguhan. Aidan tidak sedang bermimpi.
Aidan menoleh ke arah kasur dengan seprai bermotif bunga, sepertinya daisy. Selimut krem teronggok di bagian sudut kiri bawah. Ada dua bantal dan satu guling. Aidan hanya memiliki satu bantal di kamarnya.
Kalau ini nyata, bagaimana Aidan menyelinap ke sini tanpa diketahui siapa pun? Di mana si pemilik kamar? Apa dia sedang berada di kamar mandi? Tapi tidak terdengar suara apa pun.
Aidan kembali menoleh ke dinding kaca yang tirai putihnya memang terbuka sejak tadi. Bayangan cewek berambut panjang masih ada di sana. Mereka saling memandang dengan ekspresi yang sama, mengernyitkan kening.
Sedetik kemudian, kesadaran Aidan terpantik. Dia melotot lebar, lalu grasah-grusuh mencari sesuatu. Pandangannya tertuju pada cermin berbentuk oval yang tergeletak di meja, dekat ponsel dan bungkus cokelat yang sudah dibuka.
Aidan segera meraih cermin itu, lalu tergemap setengah mati saat melihat wajah yang terpantul. Jelas itu bukan wajah Aidan meskipun memiliki garis rahang serta fitur yang hampir mirip.
“Kok jadi gini?” Aidan pikir dirinya sungguhan gila.
Aidan menunduk, memperhatikan helaian rambut menjuntai di dadanya yang tidak bidang lagi. Kaus biru muda yang dikenakan itu terlihat sedikit maju pada bagian dada. Tangan kanan Aidan masih memegang cermin, sedangkan yang kiri berusaha meraba dada dengan gemetaran.
KAMU SEDANG MEMBACA
Way Back Home
Teen FictionPada ulang tahun yang ke-17, Nadia mendapatkan kejutan yang tidak disangka-sangka. Jauh melebihi ekspektasinya. Bahkan tak masuk logika. Awalnya dia ingin pergi jauh. Sekarang dia hanya ingin semua kembali seperti semula. Akankah Nadia menemukan jal...