Bab 8

10 3 0
                                    

🍒Selamat membaca🍒

“Kenapa, Pa?” tanya Nadia yang merasa Papa sejak tadi menatapnya. Menatap Aidan tepatnya. 

Papa tersenyum tipis dan menggeleng kecil, lalu menjawab, “Nggak apa-apa. Papa senang aja kamu akhirnya mau makan bareng Papa lagi. Biasanya kamu berangkat buru-buru dan nggak mau sarapan.”

“Oh… ” Nadia bergumam lirih, dalam hati menerka bagaimana hubungan Papa dan Aidan selama ini. Apakah sama seperti dirinya dan Mama? 

Kalau perpisahan di masa lalu demi kebaikan mereka, kenapa saat ini tidak ada yang bahagia? Apa kebaikan dan kebahagiaan tidak bisa berjalan beriringan? 

“Kenapa bengong? Ayo makan lagi. Nanti kamu telat ke sekolahnya,” ucap Papa membuyarkan angan Nadia yang dipenuhi banyak tanda tanya. 

Nadia kembali menyendok makanan yang sudah disiapkan oleh Budhe. Nasi hangat dan sop ayam pagi ini menjadi lebih istimewa bagi Nadia karena dia menikmatinya bersama Papa. Biasanya Nadia selalu makan sendirian. Mama terlalu sibuk dengan dunianya. Dunia yang tidak ada Nadia di dalamnya. Entah mengapa Nadia dilahirkan ke dunia ini kalau selalu menjadi pengecualian.

“Oh, ya. Rencananya akhir bulan depan Papa mau ke pabrik. Ambil weekend, jadi Senin udah balik ke sini. Kamu mau ikut?” tanya Papa di sela-sela gerak mengunyahnya. 

“Mau!” balas Nadia penuh semangat, bahkan tanpa berpikir lebih dulu. Dia juga tidak tahu di mana pabrik yang Papa maksud. 

Mata Papa terbelalak. Dia berhenti mengunyah. Kemudian menatap Nadia dengan kening dihiasi kerutan. 

“Kamu serius mau ikut?” tanya Papa lagi untuk memastikan. 

Nadia agak goyah. Sepertinya Aidan pasti menolak saat Papa mengajak pergi ke Surabaya. Jadi, Papa terkejut karena Nadia langsung mengiyakan. 

“Hm… mau aja, sih, tapi… ” Nadia menjeda ucapannya, mencoba memilih kalimat yang tepat dan bersikap seperti Aidan secara natural, “nanti aku pikir-pikir lagi.”

“Masih sibuk urusin klub bola kamu itu? Papa kan udah bilang, kamu cukup fokus belajar aja. Nggak perlu lah ada kegiatan ini itu yang buang-buang waktu,” ujar Papa panjang lebar. 

Nadia mencoba mencerna situasi. Dia bisa menyimpulkan bahwa Papa dan Aidan mungkin berselisih paham tentang apa yang perlu dilakukan atau tidak perlu. Papa menentang sesuatu yang Aidan suka. Jadi, hubungan mereka pun tidak baik-baik saja. 

“Papa cuma nggak mau kamu terluka, Aidan,” imbuh Papa. 

Nadia tidak menyahut. Entah bagaimana Aidan akan menanggapi situasi ini. Nadia menyelesaikan sarapannya dalam diam. Hingga mereka selesai dan Papa siap berangkat. Nadia bergeming menatap motor Aidan yang terparkir di garasi. 

Seumur hidup, Nadia tidak pernah mengendarai motor sendiri. Di rumah juga tidak ada motor. Mbak selalu jalan kaki saat ke pasar karena jaraknya cukup dekat. Kalaupun perlu ke tempat yang lebih jauh, mereka akan memesan transportasi online atau meminta diantarkan oleh satpam kompleks yang tugas berjaganya sudah selesai. 

“Pa, aku nebeng Papa aja ke sekolahnya ya,” pinta Nadia.

Papa mengangkat pergelangan tangan kiri dan melirik jam yang melingkar di sana. Pria itu lalu mengangguk setuju. Nadia duduk bersebelahan dengan Papa di kursi penumpang. Pak Sopir segera menyalakan mesin dan mobil itu pun melaju, menjauh dari rumah. 

Rasanya seperti nostalgia. Nadia berangkat bersama Papa lagi. Namun, kali ini Papa tidak mengemudi dan bukan Aidan yang duduk di sebelah Nadia. 

Sepanjang jalan, Nadia hanya diam. Kenangan-kenangan manis beberapa tahun lalu terputar ulang dalam ingatan seakan baru saja terjadi hari kemarin. Suara pembawa berita terdengar dari radio, menjadi pengantar lamunan Nadia. Sementara itu, Papa sibuk dengan ponselnya.

Way Back HomeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang