🍒Selamat membaca🍒
Nadia bengong mendengar ucapan Aidan. Dia tidak menemukan raut ketakutan, melainkan gugup yang didominasi kebingungan. Detik berikutnya, Nadia memindai penampilan Aidan dari kepala hingga ujung kaki. Tidak ada lecet sama sekali. Hanya wajahnya yang pucat pasi.
“Apanya yang berdarah, Ai?” tanya Nadia, ikut panik setelah kembali sadar bahwa Aidan sedang menempati raganya.
“Itu… ” Aidan berucap lirih sekali. Bahkan dia tersipu malu.
“Itu apa? Kalau ngomong yang jelas, Ai. Jangan bikin orang bingung,” gerutu Nadia, kesabarannya mulai terkikis.
Aidan serta merta mendekatkan wajah ke telinga Nadia dan berbisik kepadanya, padahal di ruangan ini hanya ada mereka berdua. Tidak ada orang lain yang akan mendengarkan. Kecuali kalau istilah dinding memiliki telinga, benar-benar menjadi kenyataan.
Nadia terbelalak setelah mendengar pengakuan Aidan melalui bisikan. Namun, berselang beberapa detik, tawanya pecah. Nadia terbahak-bahak seakan penderitaan Aidan adalah hiburan paling menyenangkan dalam hidupnya.
“Itu mens, Ai… bukan pipis berdarah,” timpal Nadia mencibir Aidan yang mengira keluarnya darah itu adalah indikasi penyakit serius.
Aidan melongo. Pemikirannya terlalu jauh. Ada menstruasi yang lumrah dialami cewek secara rutin setiap bulan. Namun, dia malah mengira Nadia mengalami hematuria. Memang tidak berbahaya, tetapi bisa mengindikasikan infeksi saluran kemih dan beberapa penyakit lainnya.
“Terus, aku harus gimana?” tanya Aidan samhil meringis karena merasakan nyeri di perutnya.
“Ya, jalanin aja,” celetuk Nadia, “mau gimana lagi?”
Aidan mengesah. Nadia beranjak mendekati lemari, membuka laci paling bawah, dan mengambil sesuatu dari sana. Aidan melongok, mengamati gerak-gerik Nadia yang sekarang kembali menghampirinya dengan membawa sesuatu berbungkus merah muda.
“Nih, pakai.” Nadia mengulurkan sebungkus pembalut.
Aidan membelalak lebar-lebar. Seumur hidupnya, dia tidak pernah berpikir akan memakai benda seperti itu. Dia cowok!
“Kenapa diam?” tanya Nadia yang melihat Aidan mengabaikan uluran darinya, “lo mau itu berceceran ke mana-mana? Nggak risi?”
Aidan gamang. Dia seperti berada di dua tepi jurang. Ke kanan maupun ke kiri sama-sama mati. Di depannya jalan buntu dengan tembok menjulang tinggi. Di belakang, ada seekor singa buas yang menanti. Tidak ada pilihan yang menyenangkan hati.
“Nih!” Nadia kembali mengacungkan pembalutnya.
Aidan akhirnya pasra menerima itu meskipun dengan raut wajah kebingungan. “Gimana cara pakainya?”
“Hadeh… ” Nadia menggeleng kecil, “itu kan ada petunjuknya. Tinggal baca aja, Ai.”
Aidan membaca tulisan-tulisan kecil di bagian belakang bungkus pembalut itu. Ada gambar juga yang memperjelas petunjuk. Namun, Aidan tetap tidak mengerti. Keningnya berkerut-kerut sampai kedua mata bulat nyaris juling.
“Sini, gue ajarin!” Nadia merebut kembali bungkusan berisi pembalut itu.
Dengan gerak serba gesit, Nadia mengeluarkan satu pack kecil yang terbungkus plastik tipis berwarna putih dengan merek tertulis di sana. Dia juga bergegas mengambil celana dalam yang masih bersih dan kembali duduk di hadapan Aidan. Tanpa ragu sedikit pun, Nadia mendemonstrasikan bagaimana cara memasang pembalut agar bisa digunakan dengan nyaman.
Setelah menjadi sales kecantikan beberapa saat lalu, sekarang Nadia beralih menjadi sales pembalut profesional. Selagi tangannya melepas perekat dan memasang dengan posisi yang dianggap presisi, bibir Nadia terus mencuapkan penjelasan tanpa henti.
KAMU SEDANG MEMBACA
Way Back Home
Teen FictionPada ulang tahun yang ke-17, Nadia mendapatkan kejutan yang tidak disangka-sangka. Jauh melebihi ekspektasinya. Bahkan tak masuk logika. Awalnya dia ingin pergi jauh. Sekarang dia hanya ingin semua kembali seperti semula. Akankah Nadia menemukan jal...