"Bagaimana jika aku tidak menjadi lebih baik seperti sekarang? Apakah kamu terus bermain di belakangku dengan Jehano?"
Gaia tertegun, "Dama.. kita sudah sepakat untuk tidak membahas ini lagi, kan?"
Damava tidak menghiraukan Gaia, "Bagaimana jika saat itu aku justru semakin parah, Gaia? Apakah kamu akan menjalin hubungan dengan Jehano di belakangku?" Tanyanya lagi.
"Dama.." Lirih Gaia, sedikit sensitif karena topik yang dibawa Damava sendiri bisa menyulut emosinya sendiri.
"Bagaimana jika aku mati saat itu? Apa kamu akan menikah lagi dengan Jehano?" Pertanyaan telak Damava membuat Gaia membenarkan posisi duduknya menjadi tegap dan menoleh ke arahnya yang duduk dengan posisi bersandar pada kepala ranjang. Istrinya itu bahkan menatap lebih serius dari sebelumnya.
"Kak."
Damava menoleh, "Yang benar manggilnya."
Mengacuhkan, Gaia justru melontarkan pertanyaan dengan panggilan awal yang mengesalkan menurut Damava, "Kakak sekarang sedang menyindir aku ya?"
"Tidak, aku hanya mempertanyakan jika seandainya seperti itu bagaimana..?" Saut Damava santai tanpa tujuan dan sebenarnya ia tidak tau jika lontaran pertanyaan itu membuat Gaia tersinggung sangat dalam. "Tidak perlu dijawab, aku tak butuh jawabanmu." Putus Damava cepat karena tidak mau urusan pertanyaannya menjadi akar pertengkaran diantara dirinya dan Gaia malam ini.
"Aku harus menjawab, Kakak penasaran.. kan?" Tanya Gaia berani, "Dari mana dulu? Kakak masih penasaran hubungan aku dan Jehano sebelumnya, kan?"
"Gaia.."
"Jehano dan aku hanya saling menguntungkan, aku butuh uang dan dia butuh tempat untuk mengeluh." Jelas Gaia, ia mengalihkan wajahnya yang memerah karena marah dan tangis, "Tidak lebih dari benefit. Okay, memang benar apa yang dikatakan Jehano pada Kakak, aku pernah hamil bayi Jehano.. bahkan berulang kali."
"Gaia.." Tekan Damava.
Gaia tetap melanjutkan, "Tapi.. aku menggugurkan bayiku dan Jehano, karena apa? Seperti Kakak.. Jehano juga takut dan belum siap memiliki anak saat itu dan kondisi Kakak saat ini mengingatkan aku pada peringatan yang selalu diberikan Jehano dulu setiap selesai berhubungan seks tanpa kondom.."
"Gue gak mau punya anak sekarang, kalo suatu saat nanti garisnya dua, gugurin."
"Aku akui Jehano tidak begitu memaksa, dia hanya memperingatkanku untuk menggugurkan bayi jika memang ada di dalam tubuhku dan akuㅡAkh!" Ringis Gaia saat belum sempat mengakhiri kalimatnya karena Damava menarik pergelangan tangannya sampai ia terjatuh terbaring di sebelah Damava.
"Bisakah kamu berhenti? Atau kamu memang sengaja?"
"Kak.."
Damava melepaskan cekalan tangannya dari pergelangan Gaia, "Jangan bahas tentang Jehano."
"Kakak yang mulai." Balas Gaia.
"Kamu jangan melanjutkan."
"Aku hanya meluruskan, Kakak terlalu masih terjebak memikirkan masa lalu." Jelas Gaia sembari mengelus bekas cengkraman Damava.
"Bukankah itu kamu?" Tuduh Damava.
Gaia menunjuk dirinya sendiri, "Aku?"
"Ya, tingkah laku siapa yang memandangi wajah adikku jika bukan kamu?"
"Kak???" Speechless, Gaia merasa sedikit tersindir.
"Jangan mengelak, aku bahkan tau jika kamu masih mencintai adikku itu."
"Kak, please.." Pinta Gaia dengan nada memohon pada Damava agar pria itu tidak lagi melanjutkan acara sindirannya.
"Susah ya kalau saingannya cinta pertama, padahal dia sudah meninggal."
KAMU SEDANG MEMBACA
ii. APOLOGIZE
FanfictionSiapakah yang bersalah? Siapakah yang harus meminta maaf? Dan, kepada siapakah harus meminta maaf?