Jemari Damava mengusap lembut bibir Gaia yang kering karena baru saja bangun dari tidur, "Bolehkah aku menciummu?"
"Aku milikmu." Ujar Gaia dengan suara khas bangun tidur saat jemari Damava mengangkat dagunya agar mendongak, "Lakukan apa pun yang kamu mau dariku, Dama."
"Aku tidak ingin memaksa kamu. Tolaklah jika kamu memang tidak ingin, aku tidak akan memaksamu lagi seperti dulu."
"Kamu suamiku dan pantas melakukan apa yang seharusnya dilakukan saat istri tidak patuh."
"Gaia.."
Gaia mengangguk, "Cium aku jika kamu memang menginginkan itu."
"Bagaimana jika aku tidak mau meskipun kamu mengizinkannya?" Tanya Damava, "Aku tidak ingin perlakuanku menyakiti kamu lagi."
"Kamu tidak pernah menyakitiku, Dama.. aku yang keterlaluan karena membuatmu sampai memperlakukan aku seperti itu." Balas Gaia, "aku tahu perbuatanku salah, Jehano dan aku terjebak.. aku menyadarinya."
Damava menggeleng sembari memeluk tubuh Gaia, "Tidak.. jangan bicarakan itu lagi, aku tidak suka, itu masa terkelam dalam hubungan kita, masa yang harus mengorbankan Jehano sebagai tokoh jahat."
"Masa terkelam itu membuat semua tokoh menjadi jahat karena tidak sanggup menerima kenyataan." Lanjut Damava lagi, kali ini ia mengusap punggung Gaia, "Termasuk aku yang tega membunuh buah hati kita." Lalu Damava mencium kening Gaia.
"Bolehkah aku mengaku marah dan kecewa disaat-saat itu?" Ungkap Gaia.
Damava mengangguk, "Kamu bahkan berhak memukulku dan membunuhku. Tapi, jangan pernah meminta untuk berpisah."
Gaia tersenyum tipis, "bukankah membunuhmu sama artinya membuat kita berpisah, Dama?"
"Oh.. ya, kalau begitu jangan membunuhku, tapi sumpahi aku."
"Tidak, aku tidak akan pernah melakukan itu padamu."
Damava menaikkan alisnya, "Lalu?"
"Aku hanya ingin kamu tidak bersikap kasar lagi, kurangin wajah datarnya dan perbanyak senyum.. kamu tampan!"
"Kamu cantik." Balas Damava singkat sebelum mendaratkan ciuman pada bibir Gaia, membasahi bibir kering itu.
Satu menit berlalu, tautan basah itu lepas; Keduanya menarik-membuang nafas tergesa-gesa dengan senyum yang saling terlempar.
"Terima kasih sudah ingin tetap bersamaku yang memiliki emosi stabil." Ungkap Damava terdengar tulus.
"Kamu dalam penyembuhan, jangan katakan itu." Sungut Gaia tak suka.
"Ya.. tapi selama ini pasti sulit untukmu hidup bersamaku, benarkan?"
"Tidak, aku tidak pernah merasa sulit." Sanggah Gaia sejujurnya, "Aku hanya merasa sulit saat kamu mabuk dan melakukan seks saat itu juga."
"Haha, maafkan aku." Ujar Damava sembari tertawa, "Aku tidak sadar jika aku melakukan itu."
Gaia mendengus lalu menjitak pelan kening Damava, "Yaa... karena kamu sedang mabuk!"
"Bagaimana kalau aku mabuk.. aku kasar?"
Gaia merotasikan matanya, "Apa yang kamu pikirkan saat aku sulit menghadapi kamu yang mabuk?"
"Aku kasar..?"
"Jangan bertanya lagi." Sungut Gaia kesal, "Saat itu kamu terlalu kasar.. untungnya aku tidak begitu kewalahan."
"Maaf ya?"
Gaia mengangguk, "Tidak apa. Aku sudah terbiasa."
Pagi yang cukup indah diawali dengan pembicaraan tidak begitu berat yang juga tidak memancing perdebatan. Dua tahun sudah berlalu, ya, dua tahun itu juga Damava dan Gaia memperbaiki hubungan meski terkadang masih sering terselip pertengkaran hebat yang juga mampu mereka redakan sendiri.
![](https://img.wattpad.com/cover/362625661-288-k628331.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
ii. APOLOGIZE
FanficSiapakah yang bersalah? Siapakah yang harus meminta maaf? Dan, kepada siapakah harus meminta maaf?