Bagian 1

189 27 2
                                    

Kanaya Haziqa meyakini, tak ada satu pun manusia yang tidak pernah jatuh cinta. Setidaknya mereka sempat menangis ketika dilahirkan ke dunia karena sudah terlanjur nyaman dan merasa cinta pada alam rahim—tempat menetap sebelumnya.

Begitu pula dengan Naya. Dia sendiri juga telah jatuh cinta sejak awal menatap dunia. Cinta pada pemilik dekap hangat yang memeluknya pertama kali—yang dia panggil dengan sebutan Ummi, juga pada pemilik suara merdu yang mengumandangkan azan dan iqamah di telinganya kala itu—yang dia panggil dengan sebutan Abi, pun pada Fatih—sang kakak—yang telah menunjukkan padanya bentuk kasih sayang tulus dari seorang saudara.

Lalu seiring dirinya tumbuh dewasa, Naya mulai mengenal lebih banyak bentuk cinta. Dan dia pun menyadari, bahwa dalam setiap episode jatuh cinta, akan selalu ada peluang untuk sebuah kehilangan yang tak dapat dihindari. Sebagaimana Naya yang pernah kehilangan Abi dan Ummi untuk selamanya ketika dia sedang begitu mencintai dan membutuhkan kasih sayang mereka, kini Naya kembali dihadapkan pada sebuah kehilangan dan kata ikhlas ketika hatinya telah terlanjur jatuh pada seseorang.

"Kak Hanan, Syif?"

Naya menghentikan gerak tangannya yang sedang menyendoki fettucini carbonara di piring, bersamaan dengan pertanyaan yang baru saja dilontarkan Aiza pada Syifa.

"Iya, Kak Hanan. Hanan Ghiffari, putra bungsunya Ustadz Imran dan Ustadzah Qonita."

Naya dapat melihat raut sumringah di wajah Syifa ketika memberikan jawaban barusan. Sepasang mata gadis itu tampak berbinar cerah. Mereka bertiga kini sedang berada di salah satu sudut kafe, mengitari meja persegi di sisi jendela kaca—dengan Naya dan Aiza yang duduk di salah satu sisi, sementara Syifa menempati kursi di seberang meja. Pemandangan hiruk pikuk jalanan Ibu Kota terlihat di kejauhan.

"Aku juga nggak nyangka kalau ternyata Kak Hanan ngelamar aku. Waktu pertama kali Ustadzah Qonita sampaikan niat baik putra bungsunya itu, aku sempat nggak percaya. Setelah Ustadzah Qonita jelasin detail tentang niat baik Kak Hanan dan segala hal yang perlu aku tahu sebelum ngasih jawaban, aku putuskan untuk istikharah dulu, sekaligus minta pendapat Abah sama Umma."

"Terus begitu merasa yakin untuk terima, Abah sama Umma juga merestui, aku dan Kak Hanan akhirnya melalui proses ta'aruf dengan didampingi mahram masing-masing. Dan biidznillah, kemarin malam kami sampai ke tahap khitbah. Insya Allah pertengahan bulan depan akad nikah sekaligus resepsi," lanjut Syifa sambil terus melengkungkan senyum.

"Pertengahan bulan depan?" Kali ini Naya yang bertanya.

Syifa pun kembali mengangguk tanpa melunturkan senyum di bibir. "Iya. Insya Allah. Doakan ya, semoga semuanya berjalan lancar. Pokoknya kalian berdua harus hadir saat akad dan resepsi nanti. Temani dan bantu aku juga selama persiapan menuju pernikahan. Ya, ya?" Syifa menatap Naya dan Aiza dengan penuh harap. Ekspresinya terlihat sangat bahagia.

"Pasti, Syif. Insya Allah," Aiza mengangguk sambil mengulas senyum. Dia ikut bahagia atas kebahagiaan salah satu sahabatnya itu.

"Insya Allah, Syif." Naya pun turut mengangguk. Namun, ada sendu yang tersembunyi di balik senyum yang dia coba paksakan.

"Tapi kabar ini tolong dirahasiakan dulu, ya. Aku dan Kak Hanan rencananya baru mulai sebar undangan tiga minggu lagi, satu minggu sebelum pernikahan berlangsung. Jadi untuk saat ini baru kalian berdua aja yang tahu dari pihakku—selain keluarga besarku sendiri."

(Im)Perfect LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang