Sayup-sayup bacaan tilawah terdengar mengalun merdu dari bibir Naya. Setelah melaksanakan salat Isya, Naya memilih untuk membaca dan menadaburi qalam Allah tersebut sejenak. Surah Ar-Rahman menjadi pilihannya malam ini, lanjutan dari tilawah terakhirnya Magrib tadi.
Bibir ranum itu seketika bergetar dengan air mata yang perlahan mulai menetes ke pipi, begitu sampai pada ayat ke-13, juga ayat ke-16, 18, 21, serta ayat-ayat berikutnya dengan kalimat dan makna yang sama.
Fabi-ayyi aalaa-i Rabbikumaa tukadzdzibaan.
Maka nikmat Tuhanmu manakah yang kamu dustakan?
Ayat tersebut mengingatkan Naya pada banyak hal. Bukan hanya tentang perasaannya yang baru saja patah lantaran lelaki yang dia kagumi diam-diam akan segera menikah dengan sahabatnya sendiri, tetapi juga tentang dosa-dosa yang pernah dia lakukan di masa lalu dan kini begitu dia sesali, tentang segala kesalahan yang tidak lagi bisa dia perbaiki, tentang kehilangan yang pernah dia lewati, juga tentang segala nikmat yang masih luput dia syukuri.
Hampir setiap malam Naya selalu menangis dalam doa-doanya ketika memohon ampun pada Allah, terutama usai melaksanakan salat sunnah di sepertiga malam. Namun, sebanyak apa pun air mata yang dia tumpahkan, seakan tak pernah cukup untuk menghapus segala kesalahannya di masa silam. Dia selalu merasa begitu kerdil dan hina setiap kali bersimpuh di atas sajadah, menghadap Sang Pencipta. Di atas bumi-Nya yang amat luas ini, Naya merasa tak ada apa-apanya jika hidup tanpa pertolongan Allah. Sungguh tak ada tempat bergantung selain kepada-Nya.
Ketukan pintu terdengar bersamaan dengan ucapan salam, tepat saat Naya menyelesaikan ayat terakhir dari surah yang dia baca. "Shadaqallaahul 'adhiim," ucap Naya sembari menutup mushaf. Lalu meletakkannya ke atas nakas di sisi tempat tidur sembari menjawab salam tersebut. Tanpa melepaskan mukena, Naya beranjak keluar dari kamar untuk membukakan pintu utama.
"Kakak pulang naik apa? Kok nggak kedengeran suara mobil masuk garasi?" tanya Naya begitu menyambut kepulangan sang kakak yang kini telah memasuki rumah.
"Dianter sama bos Kakak. Kebetulan tadi meeting-nya dekat sini. Terus selesai meeting, bos Kakak bersikeras buat nganter, supaya Kakak nggak harus bolak balik lagi ambil mobil ke kantor. Jadinya mobil Kakak nginap di basemen kantor malam ini," ujar lelaki berusia 32 tahun itu sembari berjalan menuju sofa di ruang tengah yang juga difungsikan sebagai ruang tamu. Dia langsung mendudukkan diri di sana, lalu meletakkan tas kerja beserta sebuah bungkusan pastik yang sejak tadi ditentengnya ke atas meja kayu di hadapan. Kemudian, dia pun melepas jaket bomber yang dikenakan dan meletakkannya pada lengan sofa.
"Baik banget bos Kakak. Siapa yang bos, siapa yang asisten," ucap Naya sambil berjalan menyusul sang kakak dan berdiri di ujung sofa, dekat lelaki itu. "Kenapa malah Kakak yang dianter? Perasaan sering banget deh, Kakak diperlakukan nggak kayak asisten. Kadang malah kayak lagi tukar profesi," imbuhnya.
Fatih terkekeh mendengar itu. "Bos Kakak emang baik. Makanya Kakak betah jadi asistennya. Hampir dua tahun kerja di situ, belum pernah Kakak temukan sikapnya yang buruk sebagai atasan. Meskipun cukup tegas untuk urusan pekerjaan, tapi tetap nggak semena-mena sama bawahannya. Semua karyawan selalu diperlakukan dengan baik. Bahkan, pramukantor aja sangat dihargai. Karena itu, mereka pun jadi semangat untuk selalu bekerja dengan maksimal. Kata beberapa karyawan yang udah lama kerja di kantor itu, Divisi Marketing jadi berkembang sangat pesat semenjak dipimpin sama manajer yang sekarang."
"Syukurlah, akhirnya Kakak bisa berada di tempat kerja yang tepat dan bikin Kakak nyaman."
Fatih tersenyum simpul mendengar penuturan adiknya. "Kamu belum ngantuk, kan? Ada mie Aceh kesukaan kamu nih. Tadi Kakak beli sambil pulang," ujarnya sembari menunjukkan bungkusan plastik di atas meja di hadapannya. Lalu dia pun bangkit dari sofa dan beranjak sejenak menuju dapur untuk mengambil piring beserta sendok.
KAMU SEDANG MEMBACA
(Im)Perfect Love
Spiritual••[Spiritual-Romance]•• Kanaya Haziqa dan Irgi Pratama Gemilang, dua anak manusia yang pernah melewati luka, patah dan kehilangan dalam hidup. Lalu keadaan membuat keduanya terus bersinggungan, hingga berujung pada satu takdir yang sama. Mungkinkah...