Seharian ini Naya terus memikirkan soal lamaran yang disampaikan kakaknya tadi malam. Berulang kali dia pertimbangkan, tetapi tak juga memiliki keyakinan hati untuk menerima.
Naya tahu, menikah tidak selalu harus diawali dengan cinta. Karena cinta saja tak akan cukup untuk dijadikan bekal dalam menjalani ibadah panjang tersebut. Namun, bukan berarti dia dapat membiarkan seseorang masuk begitu saja dalam hidupnya dan menjadikannya partner untuk membina rumah tangga, saat hatinya masih belum tertata rapi setelah patah dan kecewa bukan?
Sepertinya Naya harus beristikharah lagi, atau mungkin memang penolakanlah yang menjadi jawaban terbaik untuk dia berikan pada lelaki yang telah memintanya pada sang kakak.
"Bunda Naya!"
Lamunan Naya terbuyar ketika beberapa muridnya berseru sambil mendekat dan dengan tertib meraih tangan kanannya untuk disalami dengan takzim. Naya tersenyum memperhatikan mereka.
Sekolah tempat Naya mengajar, menerapkan sistem pembagian piket. Setiap harinya—kecuali minggu yang memang hari libur—akan ada tiga orang guru yang bertugas menemani anak-anak menunggu jemputan. Ketiganya selalu siaga berdiri di halaman depan, dari mulai sekolah berakhir sampai semua anak telah dipastikan pulang dengan aman bersama jemputan masing-masing.
Hari ini giliran Naya yang bertugas bersama dua guru lainnya yang bernama Ayu dan Nurul. Keduanya berusia beberapa tahun di atas Naya dan sudah berkeluarga.
"Hati-hati pulangnya. Yang punya PR, jangan lupa dikerjakan di rumah, ya," seru guru bernama Nurul yang berdiri di bagian kiri halaman.
"Iya, Bunda Nurul," jawab anak-anak itu serentak. Lalu segera berjalan menghampiri jemputan masing-masing. Ada yang dijemput oleh orangtua atau anggota keluarga terdekat, ada pula yang dijemput oleh supir pribadi atau ojek langganan yang sudah diperkenalkan terlebih dahulu oleh wali masing-masing pada para guru di sana.
Setiap melihat anak-anak itu, Naya selalu teringat pada ucapan abinya dulu, ketika dia mulai menginjak usia remaja dan baru memasuki SMP.
"Dengan menuntut ilmu, kamu sudah membawa diri selangkah lebih siap untuk melewati segala situasi dalam menjalani kehidupan. Lalu dengan menebarkannya, kamu sudah berupaya membantu banyak peradaban dalam menghadapi masa depan. Karena sesungguhnya, setiap hal yang terjadi dalam hidup, akan lebih mudah dilalui dengan adanya ilmu. Dan semua ilmu bermanfaat yang pernah kita tebarkan itulah, yang nanti akan menjadi amalan tak terputus setelah meninggalkan dunia."
Begitulah yang dikatakan sang abi pada Naya kala itu. Hal itulah yang menjadi alasan abinya begitu mencintai profesi beliau sebagai seorang guru. Alasan itu pula yang kemudian membuat Naya perlahan mulai memiliki tekad untuk mengikuti jejak beliau dan kini akhirnya telah berhasil dia wujudkan.
Naya selalu bahagia menjalani hari-harinya sebagai guru di salah satu Sekolah Dasar Islam Terpadu yang ada di Ibu Kota tersebut. Naya sangat menyukai setiap kebersamaan dengan anak-anak didiknya. Dan dia berharap, segala lelah yang didapat selama mengajari mereka, dapat menjadi tabungan pahala yang tak akan terputus ketika kelak telah tiada.
"Alisya! Hari ini dijemput siapa?" tanya guru bernama Ayu yang berdiri di bagian kanan halaman, tak jauh dari posisi Naya berada. Pandangannya tertuju pada gadis cilik dengan ransel ungu di punggung yang baru saja selesai mengenakan sepatunya di tepian undakan teras kelas.
"Papa," jawab gadis kecil bernama Alisya tersebut sembari melangkah penuh semangat ke tengah halaman sekolah. Lalu berhenti dan berdiri di dekat guru-gurunya itu. "Nenek tunggu di tempatnya Tante Hera. Alisya akan diantar ke sana sama Papa. Soalnya mau ukur baju buat acara di rumahnya Tante Hera minggu depan," imbuhnya dengan antusias.
KAMU SEDANG MEMBACA
(Im)Perfect Love
Spiritual••[Spiritual-Romance]•• Kanaya Haziqa dan Irgi Pratama Gemilang, dua anak manusia yang pernah melewati luka, patah dan kehilangan dalam hidup. Lalu keadaan membuat keduanya terus bersinggungan, hingga berujung pada satu takdir yang sama. Mungkinkah...