Bagian 5

183 19 20
                                    

Naya tampak tercenung setelah mendengar apa yang baru saja diberitahukan Fatih. Dia seakan masih tak percaya bahwa pria yang selama ini dia kenal sebagai wali dari salah satu muridnya—Alisya, pria yang kini sedang berdiri di seberang bed tempat Fatih terbaring—yang masih tampak rapi dengan setelan jas hitamnya meski jarum jam telah menunjukkan pukul delapan malam, merupakan atasan kakaknya di kantor, juga pria yang telah memintanya pada sang kakak dan ingin menjadikannya pasangan hidup. Sungguh, tidak pernah terpikirkan dalam benak Naya bahwa pria itulah orangnya.

Satu hal yang menjadi pertanyaan Naya. Kenapa pria itu menjatuhkan pilihan padanya dan ingin menikahinya? Bukankah dia sudah menikah? Maksudnya, dia sudah menikah dan istrinya belum lama meninggal. Alisya saja masih berumur 8 tahun. Apakah semudah dan secepat itu dia melupakan wanita yang pernah dinikahinya—yang bahkan sudah memberinya seorang putri yang cantik, baik dan pintar seperti Alisya?

Entah kenapa, Naya justru merasa kecewa menyadari hal itu. Jika Naya menerima lamarannya, lalu mereka menikah dan nantinya Naya pun ikut meninggalkan dunia, apakah pria itu akan dengan mudah dan cepat melupakannya juga?

Atau ... mungkinkah pria itu sebenarnya belum melupakan almarhumah istrinya, lalu melamar Naya hanya demi memberikan sosok ibu untuk Alisya? Rasanya alasan itu pun sama saja, sama-sama tidak memberi kesan bahagia untuk Naya. Terlalu berat jika Naya harus hidup dengan seseorang yang hatinya masih tertawan pada masa lalu.

"Makasih udah bantu bawa kakak saya ke rumah sakit," ucap Naya pada pria itu sembari mengangguk singkat sebagai bentuk kesopanan. "Saya baru tahu kalau ternyata Anda adalah atasan kakak saya." Dan juga pria yang ingin menikahi saya—entah karena alasan apa, padahal istri Anda belum lama meninggal, lanjut Naya dalam hatinya. Dia masih saja merasa tidak senang saat memikirkan hal itu.

"Selanjutnya saya yang akan nemenin Kak Fatih. Jadi Anda bisa pulang aja," imbuh Naya lagi.

Irgi, pria yang berdiri tak jauh di hadapan Naya tersebut, yang merupakan atasan kakaknya sekaligus wali dari salah satu muridnya, tampak terpekur sesaat. Lalu dengan cepat dia mengulas senyum tipis. "Sepertinya saya baru saja diusir dari sini," ucapnya dengan nada penuh canda.

"Nay." Fatih lekas menegur sang adik dengan tatapan isyarat. Lalu menoleh pada atasannya itu. "Maafkan adik saya, Pak."

"Maaf, saya nggak bermaksud mengusir. Saya cuma nggak mau terlalu banyak merepotkan Anda," celetuk Naya.

Irgi kembali menyunggingkan senyum. "Ya, ya, it's okay. Saya nggak merasa repot sama sekali by the way. Apa yang saya lakukan adalah bentuk pertanggungjawaban sebagai seorang atasan, juga sebagai rasa terima kasih pada Personal Assistent saya yang udah banyak mencurahkan waktu dan tenaganya dalam membantu pekerjaan saya selama ini. Dan ...." Dia melirik sekilas pada analog watch yang melingkar di pergelangan tangan kanannya. "Saya memang harus segera pulang juga. Ada seorang gadis kecil yang pasti udah menunggu kepulangan saya di rumah."

"Get well soon, Fatih," ucap Irgi sambil menepuk pelan pundak kiri Fatih—kakak semata wayang Naya yang bekerja sebagai Personal Assistent-nya itu. "Lupain dulu soal pekerjaan selama di rumah sakit. Lo terhitung cuti sampai benar-benar sembuh. Jadi gunakan waktu sebaik mungkin buat istirahat yang cukup. Semua administrasinya udah gue urus, tinggal nunggu dibawa perawat ke ruang rawat inap. Dapatnya ruangan VIP 3A, di lantai 3."

"Itu bukan dari gue pribadi," tambah Irgi langsung begitu melihat ekspresi Fatih yang seakan hendak protes. "Semua biaya rumah sakit selama lo dirawat di sini, diakomodasi oleh perusahaan dengan pilihan fasilitas terbaik, sebagai bentuk tanggung jawab karena lo jatuh sakit saat sedang menyelesaikan tugas sebagai Personal Assistent gue. Jadi fokus aja untuk kesembuhan lo."

(Im)Perfect LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang