08 › Teman katanya.

417 33 4
                                    

Sella itu menyebalkan.

Kassa menghela nafas untuk kesekian kalinya semenjak rekan Arsiteknya bernama Seller itu meminta izin untuk cuti pada hari ini karena putranya sedang sakit. Terpaksa, dengan sangat terpaksa membuat Kassa menemui kliennya seorang diri untuk menunjukkan desain yang akan segera digarap.

Kassa menyandarkan punggungnya pada kursi yang untungnya memiliki sandaran lembut dan empuk sehingga tidak membuat punggungnya tidak terlalu tertekan dan sakit, ya, luka yang dibuat Bashkala masih terasa sakitㅡbaik hati, pikiran maupun tubuh. Tapi, Kassa juga harus tetap melanjutkan hidupnya sesudah sidang perceraiannya nanti.

sejenak Kassa memejamkan kedua matanya, tidakㅡwanita itu tidak kekurangan tidur karena semalam terlalu lama menangis, tidak, bahkan bagaimana bisa ia tetap menangis di saat semalaman Ayah dan Bunda-nya menunggu dirinya di dalam kamar? jelas tidak bisa menangis sebab banyak kasih sayang yang ditumpahkan oleh kedua orang tuanya itulah yang membuatnya berhenti menangis.

Kassa sudah berjanji pada ayahnya jika ia tidak akan menangis untuk Bashkala lagi, tidak akan.

Sklek

pintu ruang pertemuan digeser pelan dari luar, otomatis membuat Kassa tersentak dan segera berdiri untuk menyambut klien-nya yang memasuki ruangan.

"Assa?"

Kassa mengangguk sebelum melempar senyum ramah pada klien-nya, "selamat siang.. Pak Harlan." sapanya dengan sikap profesional tepat saat klien-nya itu sudah mengambil tempat duduk di hadapannya.

"siang, arsitek Kassa." Balas Harlan, dengan pandangan beralih memperhatikan jemari Kassa saat wanita itu akan menyambungkan kabel proyektor pada laptopnya. "Where is the wedding ring that you showed me the other day?" Celetuk Harlan seketika membuat aktifitas Kassa terhenti.

Kassa menatap Javian, "maaf?"

Harlan tertawa pelan, "hilang?"

"Pak Harlan, bisakah kita tidak keluar dari topik atas pertemuan kita?" Balas Kassa tanpa tersulut sedikit pun.

"okay, continue with the topic but don't avoid me later after the topic of our meeting is over."

s i l e n t

"untuk apa kamu datang ke sini?"

Tuan Arudama berdiri di depan pintu utama sembari bersedekap dada saat melihat menantu satu-satunya mengetuk pintu rumahnya. Suara datar namun tegasnya itu juga mengundang kehadiran sang Istri yang tadinya sedang berbicara dengan asisten rumah tangga mengenai pengambilan barang-barang Kassa yang tertinggal di rumah Bashkala.

Nyonya Arudama menatap menantunya datar, "masih ada niat kamu datang ke rumah kami?"

"Ayah, saya datang kesㅡ"

"kamu ingin bertemu Putri kesayangan saya? untuk apa? menyakiti Putriku dengan kalimatmu?" Potong Tuan Arudama telak membuat si Bashkala membisu. "Sudah cukup, Jordan. Putri saya tidak butuh kasih sayang atau bahkan cinta dari kamu karena saya masih sanggup memberi putra saya kasih sayang dan cinta." Lanjut beliau tanpa memberi kesempatan untuk menantunya memberi sanggahan, "asal kamu tau saja ya, saya tidak pernah ingin membuat Putri saya sakit hati atau sakit fisik, tidak pernah saya ingin melihat atau membuat Putri saya menangis meskipun dengan alasan merindukan saya, tidak pernah. Tapi, kenapa kamu dengan mudah melakukan itu semua? kenapa? Putri saya ada salah apa pada kamu?" Menumpahkan amarahnya.

Nyonya Arudama menengahi, "Mas.. sudah."

"sebelum saya serahkan tangan Putri saya kepada kamu di atas altar, kamu ingat tentang apa yang saat itu saya katakan pada kamu kan?" Tuan Arudama tetap melanjutkan kalimatnya, "Serahkan kembali Kassandra Arudama pada saya jika kamu tidak sanggup melimpahkan kasih sayang dan cinta pada Putri tunggal kesayangan saya, kamu ingat itu?" Tekan Tuan Arudamadengan menilik masa-masa di mana ia pernah mempercayakan Putra tunggalnya pada sosok di hadapannya saat ini.

iii. SILENTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang