Loyalty

25 9 7
                                    

"You are the faint line between faith and blindly waiting." -Rupi Kaur
.
.
.

"Kapan kau akan menyelesaikan semuanya, Ila?" tanyaku pada Sheila yang sedang mematut dirinya di cermin, memakai gaun pengantinnya yang setengah jadi.

Sheila tak memedulikanku, hanya meneliti potongan yang kurang pas di tubuhnya, berkomentar ini dan itu kepada perancang gaun pengantinnya, lalu kembali sibuk dengan gaun putih mengembang berbahan satin dan tulle itu.

"Enam bulan lagi sebelum kau menikah, La. Dan kau belum melakukan apapun tentang hubunganmu dengan Dion." Aku memperingatkannya. Kali ini ia menoleh padaku.

"Sudah kubilang, Kak. Ini urusanku," dengusnya. "Jangan membuat dirimu sendiri terbebani."

Bagaimana bisa aku tidak terbebani? Dion adalah rekan kerjaku. Setiap hari ia akan menanyakan kabar Sheila padaku. Dan aku harus terus berbohong padanya! Sampai kapan aku harus membohongi Dion?

"La, jangan egois! Kau harus memikirkan perasaan Dion, juga Juna. Bagaimana jika Juna tahu kau memiliki hubungan yang belum usai?"

"Kak!" Sheila membentakku dengan nada tinggi. "Aku akan menyelesaikannya segera. Mengerti?"

Sheila kembali mengamati dirinya di cermin.

"Lagipula, mengapa kau mendadak meributkan perasaan orang, Kak?" Sheila menggelung rambutnya. "Bukankah dulu kau tak peduli pada urusan orang lain?"

Sheila. Selalu saja membawa masa laluku, seakan itu adalah kartu AS yang akan membungkamku.

Memang, dulu aku hanya memikirkan diriku sendiri tanpa mau dipusingkan oleh urusan tak penting. Tapi masalahnya, ini sangat rumit. Ibarat sedang menghindari hunusan pedang, malah jatuh ke jurang. Tak ada pilihan lain.

"Aku hanya tidak mau kau terlibat masalah. Kau sepupuku, ingat?"

"Ya, kau seharusnya melakukan tugasmu sebagai sepupu sekaligus bridesmaid jika tak ingin aku mendapat masalah, Kak. Kali ini, jangan merusak hariku lagi, ya? Suasana hatiku sedang berantakan."

Sejak kapan Sheila menjadi gadis seperti ini? Ketus dan penuh dengan ambisi. Ia adalah gadis yang lemah lembut sebelumnya. Ia selalu mengekorku kemana pun karena jarak usia kami hanya berbeda satu tahun, ia bahkan lebih manja dari Maira, adikku sendiri.

"Lalu bagaimana jika Dion bertanya tentangmu lagi?"

Sheila menghela napas. "Bilang saja kau tidak tahu. Beres, kan?"

"Aku sudah muak berbohong, Sheila!"

"So shut up!" desisnya. "Jika kau diam, kau tak akan menambah kebohongan baru."

Sheila berlalu meninggalkanku menuju ruang ganti.

Apa aku harus diam saja?

Kurasakan aroma besi menguar dari dalam mulutku.

Ah, tanpa sadar aku menggigit bibirku kuat-kuat. Bisa kurasakan darah mengalir dari bibirku.

Tidak sakit.

Hanya dadaku yang sangat sakit.

***

Aku mengembuskan napas, menghelanya lagi, menahannya, lalu mengembuskan napas lagi. Semua kulakukan tujuh hitungan.

Udara atap gedung tidak seburuk yang kukira. Di sini banyak tanaman, hampir seperti taman, dengan kanopi bercat putih, yang masing-masing tiangnya dihiasi bunga rambat. Kursi rotan yang kududuki juga berwarna putih. Bermacam bunga, tumbuh di sini. Di ujung sana, menempel dengan palang pembatas, berbagai sayuran tumbuh di lubang hidroponik.

SOMEDAYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang