“Goodbyes are only for those who love with their eyes. Because for those who love with heart and soul there is no such thing as separation.” — Rumi
.Hidupku seakan berada di atas lapisan es tipis. Danau beku di bawahku akan siap memangsa jika aku salah mengambil langkah atau momentum.
Kehidupan dunia ini begitu rentan, tak bisa ditebak, penuh dengan ketidakpastian. Salah mengambil langkah, maka seluruh dunia akan menginjakmu tanpa ampun. Itulah alasannya aku selalu berpikir seribu kaki sebelum melangkah. Aku takut akan terjatuh dan tergilas oleh dunia. Lambat? Aku tidak sedang berkompetisi di dunia ini. Aku hanya ingin hidupku baik-baik saja, aman-aman saja.
Hidupku begitu monoton sampai Kai datang, membawa percikan-percikan pelangi, hujan dan matahari. Kai begitu cemerlang, seperti sinar matahari, dengan senyum yang sama cerahnya, menyinari hidupku yang kelabu, mewarnainya dengan berani, menarikku masuk ke dalam dunianya yang penuh warna.
“Kau harus lebih banyak tersenyum, Violetta. Dunia ini sudah cukup muram karena peperangan,” katanya saat itu.
“Perang sudah berakhir sekitar 75 tahun yang lalu, Kai.”
“Perang masih berkecamuk, Sayang. Dunia ini begitu rakus, bahkan sejengkal tanah bisa memicu pertumpahan darah. Jadi tersenyumlah, untuk mencerahkan dunia ini. Duniamu, juga duniaku.”
Aku menarik senyum, dari telinga ke telinga sampai mulutku terasa sakit. Dan Kai tergelak dengan keras. Melihat senyumku yang seperti hyena mendapat mangsa.
“Kita punya waktu seumur hidup untuk memperbaiki senyummu. Jadi bersiaplah, kau akan sangat muak dengan keberadaanku.” Kai mengacak rambutku, mendaratkan sebuah kecupan di kening.
Nyatanya, hanya enam tahun aku mengenalnya.
Ia pergi, dan senyumku kembali muram seperti dulu.
***
“Kak, apa tidak masalah, jika kau masih memakai cincin itu?”
Aku mengangkat jemari, kilauan safir dan swarovski tertangkap mata melingkar di jari manis kiriku. Aku bahkan tak sadar memakainya karena aku menganggapnya seperti organ tubuhku sendiri yang memang seharusnya berada di sana.
Aku menatap Maira, adikku, yang menatapku dengan ekspresi sedih. Sungguh, entah itu Maira, atau ayah ibuku, selalu memberiku pandangan yang sama seperti itu.
Mengapa?
Aku hanya wanita yang ditinggal mati tunangannya. Apa itu pantas untuk dikasihani? Masih banyak orang yang nasibnya lebih buruk dariku.
“Kau masih bermimpi buruk setiap malam, bukan? Aku mendengarnya, Kak.” Maira meremas tanganku. “Kau memanggil nama Rakai lalu menangis.”
Ah, aku ingat. Semalam, aku terbangun dengan napas sesak dan air mata menggenang.
“Tapi itu wajar, bukan?”
Maira menggelengkan kepalanya keras. “No, it’s not.”
“Dua tahun, Kak. Dan kau masih saja di tempat yang sama.”Aku memejamkan mata, menghela napas, merasakan air mata di pelupuk mataku.
“Lalu aku harus ke mana, Maira? Aku harus ke mana?”
“Kembali kepadaku, ayah dan ibu. You’ve been away too long...”
Maira mengelus rambutku. Pelan, penuh kasih sayang.
“Kembalilah seperti Violetta yang dulu, saat masih ada Kai. Ceria, cantik dan menawan.”
“Aku tak bisa... Kai tak ada di sini,” isakku.

KAMU SEDANG MEMBACA
SOMEDAY
RomanceKebahagiaan itu bagaikan selembar kertas. Terlihat indah berhias ribuan warna, namun akan hancur jika sedikit saja terkena goresan yang tak tepat. Kebahagiaan itu akan hancur lebur, lalu berubah menjadi duka. Violetta pernah bahagia, seakan ia perna...