Wolves and Prey

20 8 0
                                        

"As wolves love lambs so lovers love their loves." Plato
.
.
.

"Hai, Vio. Apa kabar?"

Seseorang menyapa saat aku baru saja masuk ke dalam lift. Aku menoleh. Hanya satu orang bersamaku di sini. Mengingat sekarang masih pukul delapan pagi, satu jam sebelum dimulainya waktu kerja.

"Oh, aku, baik?" jawabku dengan suara pelan.

"Syukur deh."

Pria itu tersenyum padaku.

Aku membalas senyumnya dengan kaku.

Dia siapa, aku tak tahu. Aku membalas senyum hanya demi sopan santun. Biasanya, aku bahkan tak akan membalas senyuman orang yang tak kukenal.

Mataku kembali mengamati angka lift yang entah mengapa, kali ini terasa berjalan lebih lama dari biasa. Suasana terasa canggung, karena pria ini selalu saja mencuri pandang ke arahku.

Mungkin ia salah satu pria yang selalu menitip salam via Dion. Atau mungkin, tidak.

"Aku Alessio, dari divisi marketing." Pria itu menjulurkan tangannya yang besar ke arahku.

Aku menimbang-nimbang untuk menyambut uluran tangannya atau tidak, karena hanya ada aku dan dia di sini. Aku takut ia akan berpikiran macam-macam setelah ini.

Tapi sekedar jabat tangan saja, tidak apa-apa, bukan? Itu adalah bentuk universal dari semua tata krama pergaulan dunia.

Jadi aku menyambut uluran tangannya. Menjabat tangannya hampir secara profesional, lalu melepasnya.

Nah, tak ada hal buruk yang terjadi. Pintu lift terbuka di lantai tujuanku.

Aku melangkah, nyaris terlalu cepat dari biasa. Lalu aku mendengar suara itu.

"Semangat kerjanya ya, Vio. Sampai ketemu saat makan siang."

Oh, sial. Serigala. Yang ke-dua puluh delapan di bulan ini.

***

"Eh, kau ada di sini." Dion menoleh padaku. Membuka lemari penyimpanan, dan mengeluarkan kopi bubuk.

Aku hanya diam dan merenung di meja pantry. Tak memedulikan Dion yang mengoceh tentang betapa buruk hari ini karena motor kesayangannya mogok di tengah jalan.

Sungguh, Dion itu, aku tak bisa mengerti sifatnya. Dia akan diam, diam seharian, lalu besoknya, ia akan mengoceh, mengoceh seharian.

Sebagai satu-satunya pria di bagian keuangan, mungkin ia terpengaruh banyak dari kami para cewek, soal kemampuan sosial. Yah, walaupun sekarang aku jauh di bawahnya.

Terkadang ia dengan tiba-tiba bertanya soal filososfi pernikahan kepada Mbak Rini, atau tren yang sedang digandrungi cewek-cewek masa kini kepada Diah.

Terkadang pula ia mencurahkan hatinya yang galau soal percintaan yang tak selalu berjalan mulus.

Kekasih Dion, namanya Sheila, adalah gadis yang sangat kekinian sementara Dion adalah cowok kuno penggila Vespa.

"Kau mau mati, Vio?" Dion duduk di kursi depanku. Menghirup kopinya dengan pelan, lalu mengeluarkan suara puas soal kopi hitamnya.

"Mati apa, Dion?"

"Sekarang pukul 08.45 dan kau minum sekaleng Red Bull. Apa perutmu baik-baik saja?"

"Yah, aku masih hidup, kau lihat sendiri," jawabku sekenanya.

"Kenapa, sih, kamu suka mencekoki tubuhmu dengan bahan kimia seperti itu?"

SOMEDAYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang