PROLOG

79 14 3
                                    

Violetta Airin Mustika

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Violetta Airin Mustika

Violetta Airin Mustika

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Rakai Ajie Gallendra

.
.
.
.

"We get attached to temporary things, then wonder why our happiness never lasts." Anonymous
.
.


“Kai, apakah kau pernah merasa bahagia?” tanyaku. Menatap wajah Kai yang membiaskan semburat jingga dari matahari tenggelam di depan kami.

“Tentu saja,” jawab Kai. “Berada di sini, melihat matahari terbenam dari atas tebing, dengan segelas kopi dan kau, bagaimana aku tak merasa bahagia?”

Aku menyesap coffee latte, manis dan pahit, creamy. Kai bersikeras bahwa ada sedikit rasa pedas dan asam di kopi itu. Mana kutahu? Aku bukan penggila kopi seperti dia. Aku lebih memilih sekaleng Red Bull dingin sebagai asupan kafein. Menurutku lebih to the point tanpa basa basi.

Sama seperti kami yang berbeda memandang dunia. Aku dan Kai bagaikan pelangi dan awan mendung. Aku yang menjadi awan mendungnya, tentu saja.

“Bagaimana jika kau tak bisa lagi melihat matahari terbenam, atau jika kopimu habis, atau jika aku mati setelah ini?”

Kai tertawa pelan. Tampak tak terkejut dengan ocehanku yang abstrak. Ia sudah terbiasa mendengarnya. “Siapa yang peduli dengan apa yang akan terjadi nanti? Aku hanya ingin menikmati bahagiaku saat ini.”

“Berarti, bahagia itu hanya fatamorgana. Seakan kau bisa menggapainya, tapi sedetik kemudian ia akan hilang.”

Kai mengedikkan bahu.

“Aku hanya menikmati apa yang aku miliki sekarang. Menikmati setiap detik yang berharga, kalau bisa tanpa kata-kata depresimu itu, Violetta.” Mata cokelat Kai menatapku beberapa detik, kemudian kembali lagi kepada cinta pertamanya, matahari terbenam di tebing Uluwatu. “Jika lima menit setelah ini aku ditimpa kesusahan, paling tidak aku pernah merasakan bahagia sebelumnya.”

Kai menghela napas, menatapku lagi.
“Bahagia itu adalah hal yang istimewa. Sering kali bahagia itu datang setelah kita lelah bertarung dengan dunia. Jadi jangan takut menikmati semua kebahagiaan. Tak perlu memusingkan apa yang akan terjadi di masa depan karena itu di luar kuasamu.”

Aku terdiam, menikmati semilir angin yang entah dari mana arahnya, menguarkan aroma dupa dan garam yang membuatku sedikit tenang. Tersenyum kecil, aku menyesap kembali latte yang sudah dingin. Ah, aku bisa merasakan sedikit sensasi pedas dan asam di kopiku. Seperti yang dikatakan Kai.

Let’s cherish the moment we have now. Tak usah mengira-ngira apa yang akan terjadi lima menit ke depan. Itu kuasa Tuhan.”

Aku meraih tangan Kai yang terjulur padaku. Membalas senyumnya yang cemerlang berhias semburat jingga daei matahari terbenam.

Perlahan, rasa takutku memudar. Digantikan oleh sensasi ribuan kupu-kupu yang menari di perutku. Napasku tercekat dengan cara yang menyenangkan. Jantungku berdetak lebih cepat, seirama dengan alunan musik dari bar di tebing selatan.

Kututup mataku, berdoa dalam hati agar bahagia ini abadi.
.
.
.
Tentu saja doaku salah karena tak ada kebahagiaan yang abadi.

Tepat satu tahun setelah itu, aku, berdiri di tebing yang sama, dengan matahari terbenam dan coffee latte yang sama.

Tanpa Kai.

Tanpa ribuan kupu-kupu menari di perutku.

To Be Continued

Author's note : Mohon kritik dan sarannya. Mohon dukungan dan vomment-nya ya readers yang baik hati 🥰🥰

Love,
Rainy Dee

SOMEDAYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang