Bab 6

2 1 0
                                    

Hi ges, selamat pagi. Maaf ya, baru bisa upload subuh-subuh gini🙆‍♀️ semoga kabar kalian baik-baik saja.

Mohon dukungannya melalui vote dan komen ya, agar author tetap semangat dalam berkarya. Terima kasih🙌

Happy reading~

●•●•●•●        ●•●•●•●        ●•●•●•●

Mia mengikuti keinginan Ryan untuk berjalan-jalan di area kota. Mereka tetap berjalan bersama, sambil menikmati pemandangan dan suasana kota yang sibuk. 

Ryan senang bisa menghabiskan waktu dengan Mia dan terus mengajaknya berkomunikasi.

"Mia, pemandangan disini sangat indah, ‘kan? Aku senang kamu mau mengikuti keinginanku untuk berjalan-jalan,” ucap Ryan. 

“Kamu benar, aku juga suka suasana pagi ini.” Mata Mia menangkap nama plang ruko di depan mereka. “Eh, lihat ada toko yang jual es krim. Mampir yuk ke sana, Ryan!” 

Walau Mia merasa tidak nyaman, ia mencoba sebisa mungkin tidak menunjukan rasa tidak nyaman itu. Karena, Mia tidak ingin menyakiti Ryan lebih jauh lagi. 

“Ayo, Mia.” 

Tanpa seizin Mia, Ryan tiba-tiba menggandeng tangan Mia. Menyadari hal itu, berdesir sesaat perasaan dihati Mia. Bukan perasaan cinta, hanya saja perasaan haru. Mia sangat tahu bagaimana setianya Ryan, dari dulu sampai sekarang. 

Meski Mia terus menolak kehadiran Ryan, Ryan selalu saja mencoba mengajak Mia balikan. Namun, kali ini Mia harus tegas terhadap Ryan. Ia tidak ingin Ryan terlalu berharap pada Mia.

“Ryan, tolong lepaskan tanganmu.” 

“Maaf, aku gak bermaksud membuatmu gak nyaman, Mia.” Terlihat kesedihan di wajah Ryan. Namun, bagaimanapun dia akan menuruti Mia. Ryan melepas genggaman tangannya dari tangan Mia. 

Mereka pun berjalan dalam rasa kecanggungan yang mungkin tidak akan terpecahkan. Sampai di dalam toko es krim. Mereka disambut hangat oleh pelayan toko itu. 

“Selamat datang, di toko es krim kami. Ada yang bisa saya bantu?” 

“Saya pesan rasa cappucino,” pungkas Ryan, “kamu mau pesan apa, Mia?”

“Pesan es krim rasa bubble gum satu.” 

“Baik, satu porsi rasa cappucino dan satu es krim rasa bubble gum. Apakah ingin menambah topping?” 

“Nggak usah pakai topping,” ujar Mia.

“Saya juga nggak pakai topping,” ucap Ryan. 

“Baik, mohon ditunggu akan saya siapkan pesanan Anda.” 

Mia dan Ryan menunggu pesanan diambilkan oleh pelayan itu. Beberapa menit kemudian, pesanan mereka telah selesai. Ryan segera membayarnya di kasir. 

Selesai melakukan pembayaran. Mereka keluar dan duduk di tempat duduk yang disediakan oleh toko es krim tersebut. Setiap sendok yang disuapkan ke dalam mulut, memberikan rasa dingin dari es krim itu. 

Ryan dengan wajah sumringah sangat menyukai es krim itu. “Hmm, enak sekali es krim ini. Bagaimana rasa es krim kamu, Mia?” 

“Sangat enak, rasanya seperti makan permen karet manis.” 

"Kenapa kamu mau menerima aku bekerja di kafemu?" tanya Mia, ia cukup penasaran alasannya. Namun, Mia juga sudah tahu jawabannya. Ryan masih belum melupakan dirinya.

“Aku tahu kamu pasti kesulitan mencari pekerjaan karena statusmu itu, makanya aku menerimamu," ujarnya dengan tulus.

Kecanggungan terjadi diantara mereka berdua. Mia tidak tahu kalau Ryan sudah bekerja keras sampai hari ini. Yang jelas, Mia sedikit bingung untuk membalas budi pada Ryan. 

Paling ditakutkan Mia adalah Mia tidak ingin Ryan mengajaknya balikan lagi. Karena ia merasa hidup Ryan sudah sangat sukses dan Mia memilih menghindarinya sama seperti dulu di penjara.

"Mia, apa aku boleh tahu alasan kamu memutuskan hubungan kita?"

Seketika Mia menghentikan menyendokan es krim. Dengan diam ia menatap mata Ryan yang penuh pertanyaan dan pengharapan jawaban. Ia tahu kesempatan ini akan datang, tapi mungkin ini sudah saatnya Ryan tahu.

"Kenapa diam, Mia? Apa kamu sudah gak cinta lagi sama aku?"

"A-aku bukan nggak cinta sama kamu. Selama aku dipenjara, aku merenung banyak hal, Ryan. Aku takut kamu akan dibully oleh orang disekitarmu atau ocehan warganet tentang dirimu masih dekat dengan seorang narapidana. Aku mencintaimu, makanya aku memilih memutuskan hubungan kita. Karena aku nggak ingin hidupmu bertambah susah."

Jawaban itu memberikan keheningan luar biasa bagi Ryan. Ryan tidak menyangka Mia yang sudah terjatuh ke dalam lubang sangat dalam dan masih memikirkan hidupnya.

Dasar b*doh, Ryan. Kenapa diriku gak tau kalau itu alasan Mia? Kenapa Ryan, batin Ryan memarahi dirinya sendiri.

"Kenapa kamu masih memikirkan hidupku, Mia? Seharusnya aku yang memikirkanmu, tapi aku gak tau bagaimana cara mengeluarkanmu. Ditambah aku memiliki hidup sangat pas-pasan."

"Aku tahu hal itu, Ryan. Kamu sekarang sudah sukses, makanya aku selalu berusaha menjauh dari hidupmu. Aku bahagia kamu sekarang sukses."

Mereka berdua merasakan gejolak perasaan. Ryan dengan segala rasa bersalahnya dan mengingat kenangan di masa lalu. Itu yang menjadikan Ryan bertekad untuk bangkit dari keterpurukan untuk mengeluarkan Mia.

Tanpa diduga Ryan, dalam dua bulan Mia sudah dibebaskan dari penjara. Saat itu Ryan merasa bahagia, tapi juga bersedih karena tidak tahu kabar Mia.

Mia kembali menyendok kembali es krim itu. Namun, tiba-tiba Mia teringat kedua makhluk mungil di rumahnya. Mia menaruh sendok di dalam tempat es krim. Ia menarik nafas, sebelum akhirnya memberanikan memberitahu isi kepala Mia. 

“Sebenarnya, Ryan, ada sesuatu yang ingin aku bicarakan denganmu. Aku menemukan dua anjing dua hari lalu dan ingin menitipkannya pada kamu agar mereka aman.” 

“Kenapa kamu tiba-tiba menitipkan anjing padaku?” 

“Ada hal mendesak yang harus membuatku harus pergi ke luar kota.” 

“Kamu ‘kan bisa titipkan pada Emily.” 

Mia menggigit bibirnya sejenak sebelum menjawab. Ia tidak bisa mengatakan kebenaran tentang,  Emily yang akan ikut dengan Mia di pesta Hugo. 

Mia tahu, Emily tidak bisa menjaga kedua anjing itu. Mia memilih terpaksa berbohong untuk tidak membuat Ryan curiga atau khawatir. 

"Ryan, aku juga nggak tahu di mana Emily berada. Aku khawatir jika aku pergi, nggak ada yang bisa menjaga kedua anjing itu.”

Ryan merenung sejenak sebelum akhirnya mengambil keputusan.

"Baiklah, Mia. Aku mengerti betapa pentingnya ini bagimu. Aku setuju untuk menjaga kedua anjing itu saat kamu pergi. Dan jangan khawatir tentang Emily, aku akan mencarinya."

Mia tersenyum lega mendengar keputusan Ryan.

"Terima kasih, Ryan. Aku sangat menghargainya. Oh ya, empat hari dari sekarang, aku akan pergi ke rumahmu. Aku harap itu tidak akan merepotkanmu."

Ryan tersenyum hangat. "Tentu saja nggak merepotkan, Mia. Aku senang bisa membantu. Kamu selalu diterima di rumahku."

“Ryan, aku pergi dulu, ya.” 

“Mau kemana, Mia? Temani aku sebentar saja, Mia.” 

“Maaf sekali aku harus lanjut bekerja, Ryan. Aku nggak mau ada karyawan di kafemu yang cemburu, karena kamu terlalu pilih kasih. Maaf …” 

“Hmm, baik’lah. Kamu benar, aku gak boleh pilih kasih terhadap karyawan. Makasih sudah mengingatkanku.” 

“Sama-sama, Ryan.” 

Mia akhirnya perlahan berjalan menjauh. Meninggalkan Ryan dengan perasaan campur aduk. 

.                                 Bersambung...

Love's Unexpected PathTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang