Bagian 7

39 3 0
                                    

Yuanda bengong menatap anak laki-lakinya yang baru saja keluar kamar. Yang membuat melongo adalah pakaian Zero, pasalnya laki-laki itu mengenakan sarung serta baju koko dan tidak lupa kopiah hitam. Entah kesurupan jin apa Zero tiba-tiba berpakaian seperti itu, bahkan ini baru pertama kali Yuanda melihat Zero yang sepertinya ingin beribadah.

Yuanda menepuk bahu Levian yang duduk di sebelahnya seraya bermain mobil-mobil bersama Kayvan.

"Apa, Ma?" Levian tidak mengalihkan atensinya.

"Itu Zero kesurupan apa, Pa?"

Levian mendongak, kedua matanya membesar saat melihat Zero berpenampilan seperti itu.

"Ma, Pa, nitip Kayvan sebentar. Aku mau ke majlis ada pengajian." ucap Zero.

"Tunggu tunggu!" Yuanda beranjak dari tempat duduknya menghampiri anaknya itu.

"Zero, sejak kapan kamu taubat?"

"Sejak Zero sadar kalau selama ini Zero begitu jauh dengan sang pencipta."

"Em, baguslah kamu sadar."

"Zero pergi dulu, Ma."

Pria 30 tahun itu keluar rumah menuju majlis yang sedang mengadakan pengajian.  Setelah banyaknya dosa yang dia perbuat di masalalu, sekarang Zero sadar kalau selama ini begitu jauh dan tidak mematuhi kewajiban sebagai seorang muslim.

Di kediaman Aron. Pria paruh baya itu juga barusaja keluar kamar dengan mengenakan baju gamis khas laki-laki.

Menggeleng pelan saat melihat Amora yang sedari sebelum magrib tadi fokus dengan laptopnya.

"Amora!" panggil Aron.

"Iya, Opa." jawab Amora tidak mengalihkan atensinya ke layar laptop.

"Temenin Opa ke pengajian yuk!"

Uhuk...uhuk

Wanita itu tersedak ludahnya sendiri. "Coba ulang, Opa."

"Temenin Opa ke pengajian. Gak jauh kok, di majlis nurul iman."

"Ini serius, Opa?"

"Ya serius dong. Buruan kamu siap-siap!"

Amora menutup laptopnya lalu berdiri. "Tapi Amora gak punya baju muslimah Opa."

Wanita tua berkisaran usia 45 tahun datang menghampiri mereka dengan menenteng pakaian gamis berwarna putih dan hitam.

"Non, Bibi punya baju gamis. Non bisa pakai baju ini, ini masih bagus kok non." wanita itu menyodorkan baju tersebut.

Amora menatap lalu menempelkan baju tersebut ke tubuhnya, sangat pas tidak kepanjangan dan tidak pula kekecilan.

"Bi, Amora minjam yang warna putih ya!"

"Iya, Non."

"Makasih, Bi."

"Iya, sama-sama."

"Opa, Amora ganti baju dulu."

Aron mengangguk lalu duduk di sofa untuk menunggu Amora. Sesampainya di kamar Amora langsung berwudhu lalu memakai baju gamis tadi. Wanita itu menatap tubuhnya lewat pantulan cermin, bibirnya tersenyum tipis.

"Opa tumben banget sih mau hadir di pengajian, biasanya gak pernah." ujarnya seraya mengambil jilbab di dalam lemari, itupun jilbab sudah bertahun-tahun yang tidak pernah dia sentuh.

"Yyah, gak punya jarum pentol lagi."

Karna tidak mau ribet, Amora hanya mengalungkan jilbab tersebut ke pundaknya.

✴✴✴

Tidak jauh berbeda dengan Aldo. Laki-laki 22 tahun itu duduk di batu besar yang berada di samping majlis. Sebelum acara di mulai, Aldo lebih baik mencari udara segar karna majlis tersebut masih masa renovasi dan belum ada kipas angin.

Laki-laki mendekat ke arahnya. "Udah nyampe lo?" Aldo beranjak.

"Menurut lo." Zian mendengus.

"Gue sengaja ngajak lo kesini, soalnya gue males sendiri. Kalau gak pergi Mama cerewet." ujar Aldo.

"Mama lo udah bener nyuruh lo pergi kepengajian."

"Iya sih, tapi Mama gak pergi tuh, malah nyuruh-nyuruh gue yang pergi. Kesel banget."

Zian menepuk bahu Aldo. "Malah gosipin Mama sendiri. Udah lah yuk masuk!"

Karna sudah banyak yang masuk kedalam majlis sederhana itu, jadi mereka memutuskan untuk masuk karna di takutkan tidak kebagian tempat duduk di dalam.

Amora berjalan cepat ke arah rombongan wanita. Karna sibuk dengan jilbab yang ribet karna tidak dia beri jarum, wanita itu tidak sengaja menabrak seseorang.

Bruk...

"Eh, maaf!" ucap Amora memungut buku kecil milik seseorang yang dia tabrak.

"Loh, Amora."

Amora tersenyum kikuk. "Tumben kamu ke pengajian?"

Zero tersenyum kecil. "Iya, soalnya saya sudah lama tidak hadir di acara agama seperti ini." jawab Zero.

Zero menatap Amora heran, pasalnya wanita itu ribet dengan jilbabnya sendiri.

"Saya punya peniti, kamu bisa pakai ini." Zero menyodorkan peniti yang entah sejak kapan berada di kantong baju kokonya.

Dengan senang hati Amora mengambil peniti tersebut. "Thanks." ucapnya.

"Kamu terlihat cantik." puji Zero.

"Kamu juga terlihat lebih tampan." balas Amora.

"Kalian mau sampai kapan saling tatap, hm?" entah datang dari mana Aron tiba-tiba berdiri di samping Zero.

Mereka tersenyum kikuk.

"Amora, rombongan wanita sudah masuk kedalam majlis." ujar Aron.

"Iya, Opa." Amora melangkah pergi menuju pintu masuk khusus jamaah wanita.

Zero masih saja menatap Amora meski wanita itu sudah menjauh. "Amora begitu cantik." batinnya.

"Tidak perlu menatap cucu saya seperti itu, dia memang cantik." ujar Aron dan di balas deheman oleh Zero.






Hello, nikah yuk!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang