Dari kejauhan Lona memperhatikan Zian yang sedang memapah Amora menuju mobil hitam yang terparkir.
Kedua tangan Lona terkepal kuat. Cemburu? Tentu saja dia cemburu karna Zian adalah laki-laki yang dia cintai.
Anya yang tadinya ingin ke kelas kedokteran, langkahnya terhenti saat melihat Lona. Terbesit hal licik di benak Anya, kali ini Anya yang akan mengusik Lona, karna Lona sangat suka mengusiknya terutama Amora.
Senyum Anya semakin lebar saat dia melihat tali sepatu Lona yang terlepas, "Heh, mau kemana lo?" Adnan menahan pergelangan tangan Anya saat wanita itu malah memutar arah.
"Ussst! Liat tuh!" Anya menunjuk sepatu Lona.
"Jangan aneh-aneh."
"Mending lo diem." ujar Anya lalu melangkah pelan hingga tidak bersuara.
Perlahan Anya berjongkok, mengambil tali sepatu Lona yang terlepas lalu mengikat tali sepatu itu ke tali sepatu di sebelah-nya.
Dengan susah payah Anya menahan tawa, setelah beberapa saat dia bergegas meninggalkan Lona yang masih menatap Amora dan Zian dari kejauhan.
"Rasain!" ucap Anya pelan.
"Buruan, gue gak suka hal yang bertele-tele." ujar Adnan.
"Yaudah sana duluan, gue masih mau liat Lona di ketawain sama mahasiswa lain."
Adnan mendengus, mau tidak mau Adnan menunggu Anya puas dengan tingkah usilnya. Lagipula Adnan tidak sudi masuk ke kelas kedokteran seorang diri.
"Awas lo Amora, gue akan rebut Zian untuk selama-lamanya." ucap Lona kesal.
Saat ingin melangkah, tubuh Lona terhuyung akibat kedua sepatunya saling terikat.
Bruk...
Hal yang sangat di nantikan oleh Anya. Wanita itu tertawa puas, bahkan bukan hanya dia, tapi seluruh mahasiswa yang berada di sekitar sana juga ikut menertawakan Lona.
Lona memukul lantai, "Woy, siapa yang berani ngerjain gue, hah?" pekik Lona.
Anya bersedekap dada mendekati Lona, "Gue, kenapa?"
Wajah Lona merah padam, menahan malu dan amarah secara bersamaan. Wanita itu melepas tali sepatu yang saling bertaut, lalu beranjak.
"Berani banget lo, ya?" tunjuk Lona tepat di wajah Anya.
"Emangnya lo siapa, hah? Sampai gue harus takut sama lo."
"Lo sama temen lo itu, sama-sama gak punya harga diri."
"Apa lo bilang?" kedua mata Anya melotot, wanita itu bersiap untuk menjambak rambut panjang Lona.
"Kurang jelas?" Lona tersenyum remeh, "Lo, terutama Amora, sama-sama murahan." ucap-nya penuh penekanan.
"Kurang ajar!"
Saat ingin melayangkan tamparan, pergelangan tangan Anya di tahan oleh Adnan, "Tidak perlu meladeni wanita kelas rendahan." ucapnya.
"Cih, rendahan?" Lona bersedekap dada menatap Adnan. "Lo yang rendahan. Jangan lo fikir gue gak tau, keluarga lo bergelimang harta karna hasil suap dari Papa, gue."
"Dan Papa lo punya jabatan tinggi, karna hasil menyuap masyarakat." balas Adnan tidak kalah sengit.
"Jadi, siapa yang murahan, hm?" Adnan tersenyum miring, sedangkan Lona menatap Adnan dengan penuh permusuhan.
Adnan menggandeng tangan Anya, "Jangan meladeni anak hasil suap, nanti ketularan." ucapnya lalu melangkah pergi dari hadapan Lona.
"Akh... Kurang ajar!" murka Lona dengan nafas ngos-ngosan seperti sedang di kejar binatang buas.
Setelah cukup jauh, Anya melepas tangan Adnan yang tadi menggenggamnya.
"Maksud ucapan Lona tadi apaan? Keluarga kalian saling berhubungan, gitu?" tanya Anya penasaran.
"Gak usah kepo." jawab Adnan lalu melenggang pergi begitu saja.
"Eh, mau kemana lo?" pekik Anya menyusul Adnan.
.....
Zero baru saja menerima telfon dari kantor polisi, dia mendapat kabar kalau Alvia mendapat keringanan hukuman karna perilaku baik selama di sel tahanan. (Flashback dia penyelamat)
Pria berjas hitam itu bergegas keluar dari kantor, entah kemana tujuannya saat ini.
Sedangkan di kediaman Amora, wanita itu duduk di sofa ruang tamu bersama Zian.
Dengan telaten Zian mengompres kening Amora menggunakan air dingin, laki-laki itu juga menyelimuti Amora karna Amora mengeluh dingin padahal cuaca di luar sangat panas.
"Istirahat di kamar aja, ya!" ucap Zian.
Amora menggeleng, "gak mau. Di sini aja sama lo." tolak Amora.
"Yaudah, gue temenin." Zian menyandarkan kepala Amora ke pundaknya. Melingkarkan tangan kanan ke perut Amora dan membiarkan kekasihnya terlelap.
Setelah beberapa saat, terdengar suara dengkuran halus. Zian tersenyum melihat wajah polos Amora yang sedang tertidur lelap.
Perlahan Zian mengangkat tubuh Amora dan membawanya ke kamar. Tidak mungkin Zian membiarkan Amora tidur di sofa, pasti Amora merasa tidak nyaman.
Setelah memastikan Amora tertidur tidak terusik di dalam kamar, Zian memutuskan untuk pulang ke rumah karna dia masih ada tugas kuliah yang belum terselesaikan.
"Sayang, tidur yang nyenyak ya!" ucap Zian pelan seraya mengelus kepala kekasihnya itu.
Cup
Kecupan lembut mendarat di kening Amora, lalu perlahan dia melangkah keluar kamar.
......
Di luar gerbang kantor polisi, Alvia tersenyum lebar karna dia telah bebas dan dapat menghirup udara segar.
Banyak sekali harapan dan hal yang harus Alvia lakukan setelah keluar dari tahanan. Wanita itu juga sangat merindukan anaknya yang kini sudah berusia dua tahun dan dia sama sekali belum pernah melihat anaknya sejak lama.
Mobil hitam berhenti tepat di sampingnya, Alvia menatap heran mobil itu.
"Zero!" gumam Alvia saat mengetahui kalau pemilik mobil itu adalah mantan suaminya.
"Syukurlah kamu sudah bebas." ucap Zero.
"Iya." jawab Alvia.
"Dimana anak kita? Aku ingin menemuinya."
Zero tersenyum miring, "Anak kamu?" alis Zero terangkat sebelah. "Sejak kamu mendekam di penjara, dia bukan anak kamu lagi."
Alvia menggeleng tidak terima, "maksud kamu apa berkata seperti itu? Dia anak-ku, aku yang melahirkan dia. Bukannya dulu kamu yang membantah dan mengatakan kalau dia bukan anak mu."
"Itu dulu. Tapi sekarang dia anak-ku."
"Tidak bisa. Sekarang dimana anakku?"
"Cari tau sendiri." jawab Zero lalu kembali masuk ke dalam mobil.
"Zero, Zero!" Alvia menggedor-gedor kaca mobil.
"Zero, katakan dimana anak-ku?"
"Zero!" pekik Alvia saat Zero menjalankan mobilnya.
Alvia menatap sendu kepergian Zero, lututnya lemas seakan tidak memiliki tulang.
"Dimana anak-ku?" ucapnya pelan bersamaan dengan air mata yang mengalir dari pelupuk mata.