Zian menelusuri koridor kampus seorang diri. Sedari tadi dia belum melihat Amora, entah kemana kekasihnya itu. Mobil, motor dan skateboard milik Amora-pun tidak terlihat di parkiran. Apa mungkin Amora tidak ke kampus? Entahlah, Zian tidak tau.
Kakinya terhenti di ambang pintu ruang kedokteran, Zian menatap Aldo yang sedang duduk seorang diri di dalam kelas. Sepertinya Zian harus bertanya langsung dengan Aldo agar semua masalah ini selesai. Zian tidak ingin salah paham terhadap Amora, dan meskipun benar mereka memiliki hubungan maka Zian akan mundur karna sejatinya dari awal Amora memang sangat sulit untuk di dapatkan.
Zian meletakkan tas hitam miliknya di atas meja tepat di hadapan Aldo. Laki-laki berjaket coklat itu mendongak, menatap Zian dengan santai. "Lo kenapa?" tanyanya tanpa ekspresi.
"Ada bubungan apa lo sama Amora?" tanya Zian to the point, dia tidak akan basa-basi jika menyangkut Amora.
"Maksud lo?" tentu saja Aldo tidak mengerti. Sangat jelas dia tidak menyukai Amora, bahkan berpapasan saja adalah sebuah kesialan bagi Aldo.
Zian memperlihatkan foto Aldo yang tengah memeluk Amora dari belakang, serta foto Amora yang memeluk Aldo dengan kedua mata tertutup seperti menikmati hangatnya tubuh Aldo.
"Darimana lo dapat foto ini?"
"Gak penting. Sekarang jawab!"
Aldo tertawa renyah. Beranjak menatap Zian dengan remeh.
"Jadi gara-gara foto ini lo ninggalin Amora kemarin? Terus gara-gara foto ini juga Amora adu mulut sama Lona."
Aldo menepuk bahu Zian. "Come on bro! Amora bukan type gue, lo salah paham."
"Oke, kayaknya gue harus jelasin." Aldo duduk di atas meja dengan bersedekap dada.
"Kemarin gue ngerjain Amora pakai ular mainan, kalau lo gak percaya lo bisa tanya sama Coki karna kemarin ular mainan dia yang gue pinjam. Karna Amora kaget dan takut, Amora reflek meluk gue." jelas Aldo.
"Dan kenapa gue terlihat seperti memeluk Amora di foto itu, karna gue bantuin Amora ngeluarin permen yang nyangkut di tenggorokannya. Kalau gak gue bantuin mungkin pacar lo udah mati." sambungnya.
"Jadi, kalian gak ada hubungan apa-apa?"
"Ya enggak lah. Gue gak goblok, mencintai wanita yang sudah memiliki pasangan bukan keahlian gue."
Zian bergegas keluar dari kelasnya, dia akan mencari Amora dan meminta maaf atas kesalahpahaman ini. Seharusnya Zian mendengarkan penjelasan Amora, tapi sudahlah.
Di dalam kelas management, Amora menyandarkan kepalanya pada tembok. Jaket tebal yang dia kenakan masih belum cukup untuk menghangatkan tubuhnya yang begitu dingin. Meski dia di larang ke campus oleh Aron, tapi Amora menolak dan meyakinkan Aron kalau dia baik-baik saja.
Anya mendekati Amora, menyentuh kening Amora dengan punggung tangannya. "Lo sakit, Ra. Kenapa gak pulang aja sih? Kita masih dua kelas lagi lho."
"Gue gak pa-pa kok, Nya."
"Gak pa-pa gimana? Lo aja lemes gini."
Anya menghela nafas panjang. "Yaudah, gue ambilin obat di UKS ya!"
Amora mengangguk lalu memejamkan kedua matanya. Tidak jauh dari mereka Adnan memperhatikan Amora dan Anya. Mengeluarkan kompres dari dalam tas lalu beranjak mendekati Amora.
"Kebetulan gue bawa, pakai!" ucapnya datar seraya meletakkan kompres penurun panas itu di atas meja.
"Thanks!"
Adnan kembali ketempat duduk, dia masih memperhatikan Amora bahkan tidak berkedip. "Kayaknya gue harus deketin Amora supaya gue bisa cari tau tentang Anya." batin Adnan.
Suara derapan langkah membuat Amora kembali membuka kedua matanya. Wanita itu menatap Zian yang semakin mendekat.
"Amora, lo sakit?" Zian duduk di sebelah Amora, menempelkan punggung tangannya di dahi Amora.
"Ra, panas banget. Gue antar pulang ya!"
Amora menggeleng. "Gue minta maaf! Tolong izinin gue untuk jelasin."
Zian tersenyum, memeluk Amora begitu erat. Mengelus lembut kepala Amora. "Aldo udah jelasin semuanya. Gue minta maaf! Gue belum bisa dewasa."
Amora mendongak, menatap wajah Zian dari bawah. "Janji, jangan marah lagi. Gue gak mau lo pergi."
"Iya sayang."
Amora melingkarkan kedua tangannya di perut Zian, sedangkan Zian mengelus kepala Amora.
Dari kejauhan Adnan mendengus, bisa-bisanya dia melihat pemandangan seperti ini. Apa tidak bisa mereka tidak bersikap romantis di depan manusia jomblo seperti Adnan.
Lona mengepalkan kedua tangannya, dia melihat dua sejoli itu dari jendela kaca. Rencananya gagal lagi, itu artinya Lona harus menyusun rencana baru.
"Lah? Lo dapet darimana kompres itu?" tanya Anya. Tangan kirinya membawa kompres untuk Amora.
"Dari calon pacar lo." jawab Amora tengil.
"Oh ya? Siapa?" Zian menyerngit.
"Tuh, Adnan." Amora melirik sekilas ke Adnan sedangkan Adnan langsung membuang muka.
Anya menyengir. "Dia bukan calon pacar gue." bantahnya.
"Iya gak pa-pa sekarang lo ngomong gitu, kan gak tau besok." timpal Zian.
"Eh lo diem ya! Jangan ikut-ikutan ngeledekin gue." kesal Anya.
Amora dan Zian tertawa melihat raut wajah lucu Anya.
"Sayang, kenapa? Kepalanya sakit?" Zian memijit pelipis Amora saat kekasihnya itu meringis seperti kesakitan.
Anya memutar bola matanya malas. Jika Amora bukan sahabatnya, mungkin dia tidak akan mau berada di dalam kelas untuk melihat keromantisan itu.
Amora hanya bisa mengangguk membenarkan ucapan Zian. "Yasudah, kita pulang ya!"
"Em." setuju Amora.
Zian membereskan buku Amora yang berserakan di atas meja, lalu membantu Amora berdiri.
"Nitip absen." ucap Zian.
"Enak aja lo, ogah banget gue ke kelas lo." tolak Anya.
Amora menoleh ke Adnan. "Adnan, tolong izinin Zian ya! Temenin Anya, kayaknya dia malu sendirian ke kelas Zian."
Wanita bercardigan putih itu melotot, kedua tangannya berkacak pinggang siap mengomeli Amora yang asal ceplos.
Adana berdehem sebagai tanda setuju. Setelah dua sejoli itu keluar kelas, Adnan beranjak melangkah mendekati Anya.
"Yuk!" ucapnya.
"Yuk yuk apaan? Mau kemana emang?" judes Anya.
"Jadi, lo gak mau nolongin temen lo yang butuh bantuan, hm?" alis Adnan naik sebelah.
"Ya maulah, tapi gak sama lo juga kali."
"Yaudah kalau gak mau di temenin, lo sendirian naik ke lantai dua dan masuk kedalam kelas kedokteran yang isinya laki-laki semua."
Anya menahan pergelangan tangan Adnan saat laki-laki itu membalikkan badannya. "Temenin." ucapnya dengan cemberut.
Adnan tersenyum tipis, sangat tipis sehingga Anya tidak menyadari kalau Adnan tengah tersenyum sekarang.
"Tangan gue lembut ya? Betah banget megangnya."
Anya menyentak tangan Adnan yang tadi dia genggam, berdehem menetralkan wajahnya yang gugup. "Apaan sih! Jangan kepedean lo."
"Santai aja kali." ucap Adnan mencubit pipi Anya lalu melangkah keluar.
Anya mengelus pipinya yang baru saja di cubit oleh Adnan. Bibirnya tersenyum malu, dia merasa darahnya mengalir panas.