Sesampainya di rumah Zian melempar tas hitam yang tadi dia tenteng, lalu menghempaskan tubuhnya di sofa. Memijit pelipisnya yang terasa pusing, banyaknya tugas kuliah serta masalah yang baru saja muncul membuat kepalanya semakin berdenyut.
"Zian!" panggil Reyna. Wanita patuh baya itu menarik koper berwarna silver.
"Mama mau kemana?" tanya Zian.
"Papa ada kerjaan di bandung, jadi Mama mau nemenin Papa. Kamu gak pa-pa kan di tinggal?"
"Gak pa-pa, Ma."
Laki-laki berjas hitam keluar dari kamar, memakai kacamata lalu mengambil alih koper yang tadi Reyna tarik.
"Zian, kamu jangan keluyuran. Dan jangan keluar rumah selain ke kampus." peringat Akbar ke anak semata wayangnya itu.
"Iya, Pa."
"Yasudah, Papa sama Mama pergi dulu."
"Hati-hati."
Rumah semakin sepi karna hanya ada Zian dan satu asisten rumah tangga. Tapi tidak masalah, karna Zian sudah terbiasa dengan hal itu. Dan jika di tinggal seperti ini biasanya Zian menyuruh Amora menemaninya, tapi kali ini Zian tidak akan meminta kekasihnya itu untuk datang kerumahnya.
✴✴✴
Amora belum bisa tenang jika Zian masih salah paham seperti ini. Terbesit dalam benak Amora untuk mendatangi kediaman Zian, tapi waktu sudah malam dan cuaca sepertinya akan turun hujan.
Wanita itu berusaha memejamkan kedua matanya, tapi tetap saja tidak bisa tertidur. Sedari tadi Amora memikirkan Zian, dan ingin segera menyelesaikan masalahnya dengan laki-laki itu.
"Gue gak perduli malam ataupun hujan, gue harus kesana." ucapnya lalu beranjak dari tempat tidur.
Sebelum itu dia meraih jaket dan mengambil skateboard agar perjalanan lebih cepat. Jika mobilnya tidak sedang di servis, mungkin Amora akan menaiki mobilnya itu daripada menggunakan skateboard.
Di perjalanan Amora menembus gelapnya malam, sesekali mengusap kedua lengannya karna dingin. Kendaraan yang semakin sepi membuat Amora sedikit takut.
Butuh waktu 30 menit untuk sampai di kediaman Zian. Pukul 10 malam wanita itu berdiri di depan pagar besi menatap ke arah rumah megah berlantai dua.
"Non, non ngapain kesini malam-malam?" tanya satpam yang sedang menjaga.
"Pak, Ziannya ada?"
"Ada, Non." jawabnya lalu membuka gembok dan mempersilahkan Amora masuk.
Amora berdiri di depan pintu bercat putih, memencet bel beberapa kali.
Setelah beberapa menit, pintu tersebut terbuka memperlihatkan sosok laki-laki yang sedang marah kepadanya.
"Ngapain kesini?" tanya Zian ketus.
"Zian, gue gak boleh masuk? Gue kedinginan."
Zian berdecak. "Buruan ngomong, lo mau apa kesini?"
"Gue mau jelasin kesalahpahaman di campus tadi."
"Gue gak mau dengerin penjelasan apapun."
Saat Zian ingin menutup pintu, Amora menahan tangan Zian. "Plis, dengerin dulu. Ini semua gak seperti yang lo liat, gue sama Aldo__
"Stop!"
"Lebih baik lo pulang. Gue butuh waktu untuk menerima perselingkuhan lo." setelah mengatakan itu Zian menutup pintu dengan keras hingga membuat Amora kaget.
Sekuat apapun Amora ingin menjelaskan, jika pada dasarnya Zian tidak ingin menerima penjelasan maka semua itu akan sia-sia. Lebih baik Amora pulang, pulang dengan rasa kecewa.
Suara petir menyambar membuat kedua mata Amora tertutup singkat. Wanita itu memberanikan diri untuk pulang meski hujan mulai turun dan sahutan petir dimana-mana.
"Loh, non. Kok pulang? Hujan lebat banget non, nanti non sakit." ujar satpam tadi.
"Gak pa-pa, Pak. Rumah Amora gak jauh kok." jawab Amora.
"Yasudah, hati-hati ya, Non."
Amora mengangguk lalu kaki kanannya menaiki skateboard.
Di perjalanan Amora hanya bisa pasrah saat derasnya air hujan membasahi tubuhnya. "Zian tega banget sih, belum juga dia tau kebenarannya." batin Amora mengusap wajah yang di terpa air hujan.
Karna jalanan cukup gelap, dan Amora-pun tidak fokus, wanita berbando hitam itu terhuyung saat skateboardnya menabrak ranting pohon yang berada di tengah jalan.
"Aw, sakit banget." keluh Amora.
Wanita itu tersungkur dengan kedua lutut menabrak aspal dengan sangat keras. Menatap skateboardnya yang terbelah menjadi dua menambah kekesalannya hari ini.
Perlahan Amora berdiri, kembali melanjutkan perjalanan pulang tanpa memungut skateboard nya terlebih dahulu. Berjalan dengan pincang karna kedua kakinya begitu sakit.
Sedangkan di dalam kamar Zian menatap air hujan dari jendela kamarnya. Perasaannya tidak karuan, sedari tadi dia sangat memikirkan Amora takut jika terjadi sesuatu yang buruk dengan kekasihnya itu.
"Lebih baik gue susul Amora." ucapnya lalu keluar kamar.
Mengambil kunci motor dari dalam laci, lalu meraih helm yang berada di atas meja teras.
"Den, mau kemana malam-malam begini?" tanya satpam.
"Mau nyari Amora, Pak." jawab Zian.
"Memang sebaiknya begitu, Den. Tadi Non Amora nekad pulang padahal hujan lebat."
"Iya, Pak."
Setelah pagar terbuka barulah Zian menyalakan motornya dan keluar untuk mencari Amora.
Zian berharap Amora sampai di rumah dalam keadaan baik-baik saja. Meski Zian tengah merasa kecewa, tapi perasaan dan rasa khawatir membuat Zian begitu takut jika terjadi sesuatu dengan kekasihnya itu.
Menghentikan motornya, menatap skateboard yang patah menjadi dua. "Itukan skateboard punya Amora." ujarnya.
"Ra, nekad banget sih lo." Zian kembali melajukan kendaraannya menerobos hujan yang begitu lebat.
✴✴✴
Sesampainya di rumah Amora bergegas membersihkan diri dan membelit tubuhnya menggunakan selimut tebal. Tubuhnya yang menggigil serta bersin yang tidak kunjung berhenti sedari tadi, Amora dapat menebak kalau dia terserang flu akibat hujan-hujanan.
Di luar rumah, Zian sudah memencet bel berulang-ulang kali tapi tidak kunjung ada yang membuka pintu. Satpam di yang biasanya menjaga pun tidak ada di pos, bahkan pagar rumah tidak terkunci membuatnya masuk begitu saja.
"Amora!" panggil Zian.
"Amora!" panggilnya lagi, kali ini lebih keras.
Zian mengintip dari jendela, lampu di dalam rumah sudah di matikan dan itu artinya para penghuni rumah tersebut sudah tidur.
"Amora udah nyampe belum ya?" Zian merasa gelisah.
"Semoga saja Amora gak pa-pa." ucapnya lalu melangkah pergi.