Chapter 4

33 1 0
                                    

Rumah berwarna putih itu memiliki aura duka yang terasa begitu kental. Bahkan beberapa orang yang menggunakan pakaian hitam terlihat memasuki rumah tersebut. Air mata yang mengalir dengan disertai suara isakkan memenuhi ruangan itu dan peristiwa tersebut merupakan hal yang lumrah.

Seperti yang diketahui semua orang bahwa semua makhluk hidup pasti akan kembali kepadanya pada waktu yang telah ditentukan. Kalimat itu memang benar, semua makhluk hidup pasti akan kembali pada sang pencipta dan manusia tak terkecuali. Alana tau itu, namun tetap saja perasaan sedih menjalar di hatinya. Karena pada kenyataanya, tidak ada seorang anakpun yang mau ditinggalkan oleh orang yang telah melahirkannya dan merawatnya dengan sepenuh hati. Sekesal kesalnya seorang anak pada ibunya, tetap saja dirinya tidak ingin ditinggalkan oleh sosok tersebut. Alana menyesal karena pernah marah pada sang ibu, jika dirinya tau bahwa sosok tersebut akan meninggalkannya secepat ini, dia akan berada disisi sang ibu hingga perempuan paruh baya itu menghembuskan nafas terakhirnya.

Air mata Alana mengalir dan menetes di samping ibunya yang telah terbalut oleh kain kafan. Sekarang, keluarga kandungnya hanya tersisa ayahnya seorang. Namun Alana tak melihat batang hidung lelaki itu sedikitpun. Dirinya tak tau apakah sang ayah masih menyayangi dirinya dan ibunya atau tidak, karena dia sudah tak melihat lelaki itu beberapa tahun ini. Bahkan menelepon saja tidak, hanya mengirimkan uang bulanan yang tak seberapa itu.

Zalene senantiasa duduk di samping Alana sembari mengusap usap punggungnya untuk memberi ketenangan pada perempuan itu. "Alana, udah ya. Iklasin budhe, kasihan loh budhe nanti rohnya gak tenang disana"

Alana menggelengkan kepalanya lalu memeluk jenazah ibunya kencang disetai isak tangis yang tak berhenti sedari tadi. Zalene yang melihatnya hanya bisa prihatin kepada perempuan muda itu dan tetap mengelus punggungnya.

Sebenearnya Zalene merasa bahwa ada yang janggal dengan kematian budhenya karena tak mungkin rumahnya bisa terbakar secara tiba tiba, seakan akan kematian budhenya itu telah direncanakan. Apalagi kejadian kejadian yang menimpa mereka seperti berkaitan satu sama lain, dimulai dari hilangnya bapak, komanya ibu dan kematian budhenya. Zalene yakin pasti ada dalang dibalik semuanya, seorang yang tak menyukai keluarga mereka

Bahkan jika dilihat, sekarang ini mereka semua sedang mengambil resiko dengan menempatkan jenazah ibu Alana di dalam rumah Alana sendiri. Bayangkan saja, Alana masih menjadi buronan tentara USA namun dia kembali ke titik awal kejadian sialnya dimulai. Namun mereka bisa apa? Tak ada tempat yang tersisa selain rumah ini.

"Udah ya lan, jangan nangis terus. Sedih boleh tapi jangan terus terusan" Seru Zalene, namun sekali lagi ucapan itu tak dihiraukan oleh Alana.

Zalene menghela nafas dan menyalahkan dirinya sendiri, karena bagaimanapun jika dilihat dari umur seharusnya dia yang melindungi keluarganya dan mambuat mereka tertawa. Namun apa? Adik adiknya selalu menangis sejak kemarin, dan membuat dirinya merasa gagal sebagai seorang kakak.

Alvin yang sedari tadi memperhatikan Alana dan Zalene tiba tiba mendekati mereka. Kemudian lelaki itu duduk disebelah Alana. "Mba aku yakin kita bisa menjalaninya. Kemarin mba sendiri yang bilang ke aku, kalau aku itu harus kuat? Dan aku sangat yakin kalau kalimat itu bukan hanya ditujukan kepadaku"

"Hapus air mata mba Lana dan kita cari tau dalang dibalik semuanya. Karena aku yakin semua ini saling berkaitan, dimulai dari kejadian orang tuaku dan kemudian orang tua mba Alana" Ucapnya sama persis dengan yang diperkirakan oleh kakak kandungnya.

Alana menengok ke arah Alvin. "Kamu benar. Kita harus mencari mereka dan membuat pelajaran dengan mereka. Terlarut kesedihan terlalu lama tak akan menyelesaikan masalah tapi malah menambahkan beban pikiran" Gumam Alana sembari menghapus air matanya itu.

The Endless WarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang