Chapter 12

15 1 0
                                    

Alana membenarkan kerah kemejanya yang kurang rapi lalu menyeprotkan sedikit parfum ke pakainnya. Memoleskan sedikit make up agar wajahnya tak terlihat seperti orang yang sakit tipes. Merapikan rambutnya yang terlihat acak acakan, namun tak terlalu rapi juga. Setelah itu, perempuan tersebut terdiam di depan cermin untuk meneliti apakah ada yang kurang dari penampilannya kali ini.

"Ah jubahku dimana?" Gumamnya dan mencari jubah miliknya disepanjang sudut kamar. Setelah menemukannya, Alana segera memakainya. Lebih tepatnya hanya disampirkan dibahunya saja, jangan lupakan berbagai aksesoris yang menempel dipakaiannya.

Hari ini dia harus menghadap ke sultan di ruang utama karena masalah perang yang akan diadakan pada lusa hari. Ucapan yang dia katakan pada Daritson tentang perang kemarin memang benar adanya, dia akan merebut benteng sebelah utara milik USA. Benteng itu berdiri diatas tanah milik kraton tanpa izin terlebih dahulu pada pemiliknya. Berbagai tindakan sudah dilakukan kraton untuk merebut benteng itu, namun tidak ada yang berhasil sedikitpun. Sejujurnya perang memperebutkan benteng ini telah dilakukan beberapa kali, namun entah kenapa semuanya gagal dan syarat Alana bisa menjadi seorang jendral adalah kemenangan perang kali ini yang berarti Alana harus mendapatkan benteng milik USA.

Tak

Tak

Tak

Tak

Sepatu Alana berbunyi disetiap langkah wanita itu, gesekan antara alas sepatu dengan keramik membuat bunyi yang menggema disetiap ruangan yang dia lewati. Wangi mint menguar dari pakaian Alana seakan akan wangi tersebut mengitari tubuh miliknya. Setiap pelayan yang berpapasan dengan Alana selalu menunduk padahal Alana tak memiliki wewenang apapun di dalam kraton. Dia hanya prajurit kecil yang dipungut oleh sultan dari suatu daerah.

Menjadi keturunan dari selir kraton memiliki keuntungan sendiri bagi Alana, karena tanpa title tersebut, dirinya tak akan memiliki kesempatan sedikitpun untuk menjadi jendral. Namun sejujurnya dirinya juga tak tau, hal itu merupakan keuntungan atau justru sebuah kesialan bagi dirinya. Hanya tuhan yang tau.

Clek

Pintu tinggi itu dibuka olehnya dan terlihat beberapa orang yang memiliki wewenang tinggi ddidalam sana. Jika dikira kira mungkin bisa 150 orang jika dihitung dengan orang orang yang mereka bawa. Alana berjalan dengan penuh wibawa ke arah tempat sultan tersebut berada. Setelah berdiri di depan sultan, Alana segera melakukan penghormatan kepada sang sultan.

"Salam yang mulia"

"Bangun Alana, dan jangan menundukkan kepalamu dihadapanku" Ucap sultan sembari menatap Alana dengan pandangan yang tak bisa diartikan.

"Baik yang mulia. Kalau boleh saya tau, ada gerangan apa anda memanggil saya kemari? apakah ini tentang perang yang akan saya lakukan lusa nanti?" Ucap Alana dengan nada tegasnya, bahkan tangannya sudah mengepal sedari tadi.

"HAHAHA, tanpa kuberitahu sepertinya kamu sudah paham maksudku ya Alana?"

Alana diam diam menggertakkan giginya dan menatap tajam kearah lelaki di depannya itu. Lelaki yang jika diperlihatkan lebih jauh lagi terlihat menatap Alana dengan pandangan remeh. Bahkan lelaki itu memancarkan aura yang tak menyenangkan padahal jarak antara Alana dan lelaki tersebut tak terlalu dekat. Perempuan itu tak menjawab pertanyaan lelaki di depannya dan hanya menatap datar saja. Dia tau ucapannya akan berakhir sia sia.

Lelaki ini memanggil seorang prajurit yang memegang katana ditangannya, lalu dia mengambil katanya tersebut. "Alana, katana ini akan kuberikan pada dirimu. Aku harap senjata ini dapat membantumu besok"

"Kenapa harus katana? Bukankah senjata jarak jauh lebih berguna??"

"Entahlah, aku hanya mengikuti instingku saja" Ucapnya dengan senyum yang merekah.

The Endless WarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang