Chapter 6

30 1 0
                                    

Bug

Bug

Bug

Alana memukul beberapa orang yang berusaha menghajarnya. Mereka bilang itu untuk latihan kekuatannya, namun yang alana rasakan adalah mereka berusaha untuk membunuhnya. Pukulan mereka tak main main bahkan pukulannya serasa tak ada unsur latihan di dalamnya. Rasa iri terpancar dari mata mereka, dan alana tak bisa melakukan apapun untuk menetralisirkannya. Karena pada dasarnya rasa iri terkadang sudah menjadi satu kesatuan dengan manusia.

Sifat manusia itu beragam dan salah satunya itu adalah sifat iri. Sifat iri itu salah satu emosi yang terpancing saat melihat seseorang memiliki sesuatu yang sangat diharapkan oleh seseorang. Sifat iri itu sulit dihilangkan jika pada dasarnya kita tak memiliki tujuan untuk menghilangkan sifat tersebut dari dalam diri kita.

Bruk

Alana tersungkur dengan pukulan yang tercetak jelas di pipinya. Keringat mengalir di dahi dan darah mengalir di sudut bibirnya. Bahkan muka dan tubuhnya sudah lebam dimana mana.

"Cih cuma segitu aja kemampuanmu?" Ucap seorang lelaki dengan tatapannya yang memandang remeh ke Alana.

Alana menggeram lalu berdiri dan menerjang lelaki tersebut. Menendang lalu memukulnya babi buta karena merasa tak terima dengan hinaannya. Dipikir Alana selemah itu?

Dug

Kakinya bertengger di atas dada pria itu dan menginjaknya tanpa tau belas kasihan. "Sekali lagi kamu berbicara seperti itu, kuhajar kamu sampai mati. Untuk hari ini, akan kuberikan belas kasihanku namun tidak dilain hari" ucapnya.

"Oke oke cukup. Aku menyerah" Ucapnya sembari mengangkat kedua tangannya ke atas.

Alana mengangkat kakinya dan berjalan meninggalkan mereka semua. Namun sebelum itu, tatapan tajam dia berikan kepada semua orang yang berada disana. Alana berjalan menelusuri lorong kraton dan melihat melihat sekitar. Tangannya mengepal dengan darah yang tak mau berhenti mengucur keluar. Seakan akan rasa sakit tak dia rasakan untuk kali ini. Apa yang dikatakan oleh ibunya benar, jika dia ingin memiliki sebuah kekuasaan maka dirinya harus menahan rasa sakit yang luar biasa.

Sesampainya diruangan yang dituju, dia segera membuka ruangan tersebut. Bau harum tercium di hidungnya dan membuat perempuan itu lapar. "Bisakah aku mendapatkan segelas air?"

"Hahaha, ambil sepuasmu aja Alana" ucap perempuan paruh baya tersebut.

"Ambil sendiri ya? Aku sedang sibuk sekarang" ucapnya dan diangguki oleh alana.

Alana mengambil segelas air dan meneguknya rakus. Dia bernafas lega saat tenggorakannya sudah tak sekering tadi. "Terimakasih bu atas airnya" Ucapnya sembari menaruh gelas itu di sembarang meja.

Ibu itu tersenyum kecil saat melihat Alana. "Mereka tak sejahat itukan padamu?"

"Iya"

"Mereka hanya belum mengenalmu alana, setelah mengenalmu cukup lama pasti mereka akan bersikap lebih baik dari hari ini"

"Kuharap seperti itu"

"Bagaimana dengan saudaramu yang lain?"

Alana menggelengkan kepalanya dan bersandar ditembok lalu bersidekap dada sembari memperhatikan perempuan paruh baya yang sedang menguleni sebuah adonan. "Entahlah, aku belum bertemu mereka hari ini. Mungkin mereka sedang latihan sekarang"

Ibu itu menganggukkan kepalanya dan memberikan sebuah kotak kepada alana. "Bawa ini, dan makan bersama saudaramu. Ku jamin rasanya sangat enak" ucapnya dan alana hanya tersenyum.

"Terimakasih, aku akan pergi sekarang" ucapnya dan berjalan meninggalkan area dapur kraton.

Siang ini terasa begitu terik hingga dirinya mengeluarkan keringat secara terus menerus. Alana menghela nafas saat melihat seorang perempuan berjalan ke arahnya. Perempuan berkebaya putih dengan rambut yang digulung dan diberi beberapa pernak Pernik diatasnya. Jangan lupakan cara jalannya yang anggun membuat Alana menatap datar perempuan yang sudah dia duga sebagai putri dari sang sultan.

The Endless WarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang