PROLOG

459 27 0
                                    

Anak kecil berumur 6 tahun sangat merajuk ke Bundanya.

"Gak, Alan gak mau ikut." ucapnya dengan memalingkan muka.

Azhar berjongkok menyamakan tingginya dengan Azlan. "Dengerin Ayah, gak boleh marah sama Bunda karena gak di beliin mainan. Kasian Bunda di diemin Alan, Alan mau liat Bunda nangis?" Azlan sontak menggeleng.

Azlan paling tidak suka wanita yang sangat ia cintainya menangis karenanya, ia pun mendekat ke arah Lily.

"Bunda, maafin Alan. Alan janji gak bakal marah kalau Bunda ngelarang Alan beli mainan,"

Lily tersenyum mendengarnya. "Bukan Bunda gak mau beliin, tapi mubazir Sayang. Liat seberapa banyak mainan yang Alan beli!"

"Bunda maafin Alan?" tanyanya takut Lily tidak memaafkannya.

"Bunda yang seharusnya minta maaf,"

"No, Alan yang harus minta maaf karena marah sama Bunda."

>><<

Azlan yang sudah tidak marah ikut Lily dengan Azhar ke rumah sakit karena hari libur sekolah.

"Bunda, Iza tidur?" ujarnya menatap Lily duduk di depan bersama balita perempuan.

Lily dengan Azhar sudah melahirkan lagi dan anaknya juga sudah berumur 2 tahun yang di beri nama Aliza Syauqiah Al Kanafi.

"Iya tidur Sayang, Alan mau pindah?" Azlan menggeleng.

"Ayah!"

"Iya Sayang?"

"Boleh Alan duduk di pangkuan Ayah ikut nyetir?"

"Berhentiin mobilnya dulu ya!" ucap Azhar dan Azlan mengangguk.

>><<

Sesampai di rumah sakit Lily dengan Azhar langsung melakukan operasi karena Lily sekarang menjadi asisten Azhar.

Untuk Azlan dan Aliza ia di titipkan ke suster yang sedang istirahat.

"Ounty, Azlan mau jajan!" ucapnya menatap suster.

"Yuk, kita jajan yang banyak!"

Azlan bersama suster beriringan berjalan untuk ke parkiran membeli jajanan sesuai kemauan Azlan.

"Boleh Azlan milih-milih?" Suster itu mengangguk.

Saat bersama orang lain Azlan akan menyebutnya sesuai dengan namanya jika di keluarganya pasti ia akan memanggil dirinya dengan sebutan Alan.

Duar!

Duar!

Ledakan demi ledakan terdengar dari dalam rumah sakit membuat si jago merah langsung keluar.

Semuanya panik menyelamatkan dirinya masing-masing.

Azhar dengan Lily operasinya sudah selesai dan segera mengambil anaknya untuk di bawa keluar.

"Mas, Alan gak ada. Kemana Alan?" tanya Lily sudah menggendong Aliza.

"Kamu keluar dulu! Mas yang akan cari Alan."

"Enggak Lily ikut nyari,"

"Kasian Iza, Ly."

"Pokoknya Lily ikut nyari!" Azhar hanya bisa pasrah dengan sifat keras kepala Lily.

Azhar tersenyum. "Ayok kita cari,"

Dengan api yang semakin membesar dan asap semakin tebal membuat padangan Lily kabur.

Bugh!

Lily terjatuh lemas, sontak Azhar langsung menangkapnya.

"Perih, Mas,"

"Nda, sesek." lirih Aliza.

"Mas gimana?"

"Kita berdo'a dan pasrahkan semuanya ke Allah,"

Lily mengangguk berdo'a bersama tidak di pungkiri penyakit yang Azhar alami kambuh kembali membuat pernafasannya tidak normal.

"Peluk Mas, Sayang!" Lily mengangguk dengan Aliza di tengah pelukannya.

>><<

Azlan sudah menangis histeris membayangkan kedua orang tuanya dengan adiknya di dalam rumah sakit yang sudah berubah warna menjadi si jago merah.

"Azlan mau masuk, Ounty!" Azlan berlari dan langsung di cekal oleh Dena dan di bawa kepelukannya.

Dena datang tepat saat Azlan berlari karena setelah mendengar berita ia langsung bergegas ke rumah sakit.

"Oma, Bunda, Ayah, sama Iza di dalam. Alan mau sama mereka."

"Alan, tunggu ya sampai petugas damkarnya berhasil memadamkan apinya," Azlan hanya bisa mengangguk.

Duar!

Suara ledakan kembali terdengar karena di dalam rumah sakit banyak sekali barang yang mudah meledak.

Setelah beberapa jam api pun bisa di padamkan, semua petugas damkar menggotong para korban.

"Itu Bunda!" teriaknya berlari menghampiri Lily.

"Bunda jangan tinggalian Alan sendiri, Alan mau sama Bunda." histerisnya sembari memeluk Lily yang sudah tak bernyawa.

"Mohon maaf kami menemukan mereka bertiga dalam keadaan berpelukan dan terlalu banyak menghirup asap. Apa lagi Mas yang ini mempunyai penyakit dalam," ujarnya petugas damkar kembali mengecek Azhar.

"Ayah, jangan tinggalin Alan. Ayah pernah janji mau jaga Alan,"

"Iza, maafin Aka gak ada di samping Iza. Aka minta maaf banget," lirihnya menatap wajah Sang Adik.

Aka sendiri singakatan dari nama Azlan Kautsarrazky Al kanafi yang mudah di hapal oleh Iza.

"Oma," Azlan beralih menatap Dena yang sudah menangis dengan pipi yang sudah basah.

"Alan anak kuat, Alan bisa ngelewatinya. Ada Oma, Abah sama yang lain!" isak Dena.

"Enggak Oma, Alan tetap ingin bersama Ayah, Bunda dan Iza." tegasnya setia memeluk Lily.

>><<

Anak kecil berumur 6 tahun sudah siap untuk mengumandangkan adzan yang pernah di ajarkan Azhar.

"Laa ilaaha illallaah."

Azlan menjauh dan memeluk Dena. "Oma gak boleh nangis, kata Ayah juga setiap manusia pasti akan merasakan mati." ucap Azlan yang sudah mulai tenang dan ikhlas.

Tidak sia-sia Azhar dengan Lily mendidik Azlan menjadi seorang lelaki yang kuat menghadapi ujian.

Kepergian Lily, Azhar dengan Iza adalah trauma besar bagi Azlan tersendiri. Dulu ia anak yang ceria, sekarang ia lebih banyak diam tak banyak berbicara.

Entah sampai kapan perubahan Azlan akan terus berlangsung yang membuat semuanya ikut khawatir.

Dena, Hendra, beserta yang lain sudah berusaha untuk Azlan kembali seperti dulu. Tapi, hasilnya hanya sedikit yang membuat Azlan tersenyum tipis saja.

"Tante bawain es duren kesukaan kamu!" ucap Gina menghampiri Azlan yang sedang menonton televisi.

"Enggak Tan, makasih." balas Azlan mematikan televisi.

"Semua kesukaan Oppa Azhar dan Lily adalah hal yang menyakitkan bagi Alan, kuat terus Alan." gumamnya menatap punggung Azlan yang menaiki tangga.

"Alan sendiri masih butuh waktu," Gina mengangguk mendengar sahutan Riyan.

CAHAYA UNTUK MALAMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang