19. Hanya Ilusi

42 4 0
                                    

"HA?" pekik Raina, langkah terhenti, ekspresinya terguncang. Tangan kirinya menutup mulutnya yang terbuka lebar, sementara tangan kanannya masih menggandeng tangan Yiran yang saat ini sedang tertawa geli melihatnya.

Terlalu menggemaskan, Yiran langsung memeluk Raina sambil mengusap-usap kepalanya.

Masih kaget dengan yang barusan didengar. Raina melepas pelukan Yiran, "J-jadi..." Ia menengadahkan kepala untuk memandang wajah Yiran. "J-jadi, Bu Farida mama tiri kamu dan di sekolah gak ada yang tau?"

Yiran menahan tawa. "Menurut kamu?"

"Ahhhh!" Angguk Raina lambat. Yiran tak akan mungkin menceritakan hal seperti ini kepada siapa pun di sekolah. Buktinya dirinya sendiri saja baru tau sekarang, setelah mereka sudah resmi pacaran.

Raina masih mencoba mencerna informasi yang baru ia dapat, tapi Yiran kini sibuk melirik ke jam tangannya. Sudah pukul delapan malam, tak mau memulangkan Raina terlalu malam di hari pertama kencan mereka. Yiran pun memegang kedua bahu Raina dan memandangnya lekat-lekat. "Udah malem, kamu pasti capek, istirahat ya!" Ia mengusap-usap lagi kepala Raina dengan lembut.

Meski sejujurnya tak ingin kebersamaan mereka berakhir, Raina langsung tersenyum dan mengangguk. "Kamu juga ya, kalau udah di rumah kabarin," pinta Raina, langsung di iyakan Yiran.

Di depan gang rumah Raina mereka saling melambaikan tangan dan berpisah meski enggan. Dalam hati sama-sama langsung menanti hari esok, hari pertama kalinya mereka datang ke sekolah setelah resmi berpacaran. Terlebih mulai besok sudah tidak ada pelajaran dan ujian, hari-hari kedepannya di sekolah bisa mereka isi dengan banyak mengobrol dan lebih mengenal satu sama lain.

Sekali lagi Raina melambaikan tangan dari depan pintu pagarnya, ia melihat Yiran berbalik badan dan masuk ke dalam taksi. Hatinya yang berbunga sudah mulai mulai merindukan Yiran. Sambil masuk ke halaman rumahnya Raina bersenandung riang.

Mengucap salam dengan santai dan membuka pintu rumah. Raina terkejut melihat Gita berdiri tegang di hadapannya. Seakan sudah sejak tadi menunggunya untuk masuk ke dalam rumah. Ekspresi riangnya hilang, Raina mendadak bingung melihat mata Gita yang teramat sembab.

"Kenapa nggak angkat telepon!" seru Gita dengan wajah merah padam. Perasaan frustasi dan kesal terlihat jelas di sorot matanya.

Raina mendekat dengan panik. "Eh sorry, maaf aku nggak sempet liat hape." Ia memegang kedua bahu Gita. "Kenapa? Ada apa?"

Bukannya menjawab Gita malah menangis tersedu. Raina langsung mendekapnya dalam pelukan dan mengelus-elus punggungnya, berusaha tetap tenang padahal pikirannya semakin panik.

Masih sambil terisak, Gita memaksakan dirinya untuk menjawab. "Papa," ucapnya. "Papa masuk ICU tadi siang, mama udah berangkat duluan ke Bandung, aku nunggu kakak, kita disuruh nyusul cepet-cepet."

Sekujur tubuh Raina mendadak kaku, bibirnya kelu, pikirannya kalut. Ia terdiam beberapa saat lalu melihat tumpukan tas-tas besar di samping sofa di ruang tamu. Dengan kaki gemetar ia bergerak menyambangi dan langsung menjinjing tas berisi baju-bajunya dan Gita yang sudah Gita siapkan sambil menunggu dirinya pulang tadi.

"Ayo, kita berangkat." Ajak Raina langsung keluar dari rumah yang baru semenit lalu ia masuki.

***

Yiran memasuki rumahnya tanpa berpikir kalau dia akan langsung melihat sosok ayahnya yang sudah tak pernah ia lihat sebulan terakhir. Alex sedang duduk di ruang tamu. "Keluyuran lagi?" serunya sambil melotot.

Pura-pura tak mendengar, tanpa menjawab Yiran terus berjalan menyeberangi ruang tamu. Mendapati dirinya di acuhkan, Alex naik pitam dan langsung bangun dari sofa. Ia mencegat langkah Yiran mendorong bahunya kencang. "Kalau orang tua tanya itu dijawab!" bentaknya.

Kedua tangan Yiran mengepal kencang di samping badan. Ia menatap langsung mata ayahnya sambil sekuat tenaga menahan emosi yang memuncak. Namun sayang tindakannya malah membuat Alex semakin marah. Satu tinju keras melayang di wajah Yiran.

Farida menjerit kaget dan langsung menyambagi Alex. "Udah udah! Jangan begitu!" bujuknya sambil menarik tangan Alex. "Yiran kamu ke kamar aja," imbuh Farida.

Nafasnya menderu. tangannya gemetar penuh amarah. Yiran masuk ke kamar dan membanting tubuhnya berbaring di kasur. Ia menutup matanya dengan lengan kanan, merasakan dadanya panas seperti terbakar. Ia benar-benar muak selalu menjadi samsak hidup untuk ayahnya. Semua mulai baik-baik saja sejak ayahnya semakin jarang pulang. Yiran bahkan sempat mulai merasa betah di rumah yang selalu membuatnya sesak sejak hari pertama ia datangi ini. Tapi kali ini ia merasa tak bisa menahannya lagi. Ia sudah memutuskan untuk menerima tawaran ibunya yang selama ini selalu ia tolak, ia akan pindah ke rumah ibunya, rumah di mana sosok ayahnya tak akan ia lihat lagi.

Ia langsung bangundari kasur. Membuka lemari, mengeluarkan koper-koper besar dan membentangkannya di atas kasur. Mengambil baju juga semua barangnya lalu menyesakkannya dengan kasar di dalam koper. Secara sadar ia menunda untuk mengabarkan ke Raina kalau dirinya sudah sampai di rumah, karena rumah ini akan segera ia tinggalkan.

***

Raina memandang jalanan di luar bus dengan tatapan kosong. Malam semakin larut dan udara semakin dingin. Gita yang menyandarkan kepala di bahunya sudah mulai tertidur sejak lima menit lalu. Raina terus terbayang-bayang gambaran betapa panik dan kebingungannya Gita saat dirinya tak mengangkat telepon ataupun membalas pesannya seharian ini. Makin merasa bersalah karena saat itu dirinya sedang bersenang-senang dengan Yiran.

Air mata yang sejak tadi ia tahan di depan Gita akhirnya merembes keluar. Dadanya terasa sesak, lehernya terasa tercekik dan nafasnya terasa berat. Namun Raina tetap menahan agar tak terisak. Ia menangis diam-diam tanpa suara.

Semua hal terlintas di pikirannya yang berantakan. Bayang-bayang kuliah bersama Yiran kini terasa semu. Terlepas semua hal yang sudah mewarnai harinya selama tiga bulan terakhir, ia mulai berpikir kebahagiaan yang ia idam-idamkan tampaknya hanya ilusi.

Pada akhirnya Raina merasa dirinya dipaksa bangun dari mimpi-mimpi indah yang membuat perasaannya hampir hanyut terbuai. Kini ia kembali disadarkan dengan kenyataan, kalau hidupnya tak lain hanya rentetan mimpi buruk yang tak kunjung berakhir. Ia pun memejamkan matanya perlahan, meski tahu dirinya tak akan bisa tertidur pulas, setidaknya ia harus memberikan tubuhnya sedikit waktu beristirahat. Sejauh ini ia sudah berhasil membohongi dirinya sendiri dengan berusaha berpikir positif kalau ayahnya baik-baik saja.

Menjadi dewasa adalah salah satu hal yang ia tunggu-tunggu, ia ingin bisa mengurus dirinya sendiri tanpa bergantung pada orang lain, menghasilkan uang sendiri, mengambil keputusan sendiri berdasarkan apa yang ia suka. Namun nyatanya menjadi dewasa tak semanis bayangannya, dewasa kini menjadi bayang-bayang gelap yang menunggu di depan matanya, dengan masalah yang tak tahu akan seperti apa.

ASLOVEGOESBY - The New Comer and ITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang