20. Butir-Butir Mimpi

44 5 0
                                    

Yiran menengok lagi ke barisan kelas Raina, matanya kembali menyisir ke setiap orang yang ada di dalam barisan. Nafasnya terasa berat karena sampai saat ini masih belum juga melihat Raina padahal upacara sudah akan dimulai.

Tami dan Duna juga saling berbisik, sekarang mereka mulai bertanya-tanya dimana keberadaan Raina padahal beberapa waktu lalu saat Yiran mendatangi mereka di kelas dan menanyakan Raina, mereka menjawab dengan yakin kalau Raina kemungkinan terlambat. Mereka berpikir begitu karena biasanya kalau tak masuk sekolah Raina pasti mengabari. Tapi sekarang keduanya mulai ragu, tak mungkin Raina terlambat sampai jam segini.

Yiran bolak balik membuka ruang obrolan chat-nya dengan Raina. Tak ada satupun chat yang dikirim sejak semalam dibaca apalagi dibalas oleh Raina. Perasaannya semakin tak enak, tak lagi menahan diri, Yiran langsung menelepon nomor Raina.

Matanya membelalak lebar, bukan jawaban dari Raina yang ia dengar malah suara dari operator telepon yang mengatakan kalau nomor yang ia tuju sedang tidak aktif atau berada diluar jangkauan. Tangannya mengepal gusar, mulai khawatir dan menerka-nerka apa yang terjadi.

Kavi yang berdiri di sebelah Yiran sejak tadi diam-diam memperhatikan. Awalnya ia memang tak bermaksud mencari tahu tapi gelagat Yiran terlalu kentara, hingga tanpa sadar membuatnya terus mengawasi.

Sepanjang upacara berlangsung Yiran tak henti-hentinya mencoba menghubungi nomor Raina. Ia juga coba mengirimkan beberapa pesan lagi tapi tetap tak ada yang terkirim. Dan disaat upacara selesai ia buru-buru menyambangi Tami dan Duna menanyakan lagi kalau-kalau mereka sudah punya kabar tentang Raina, tapi keduanya terlihat sama bingungnya.

"Gita juga gak bisa dihubungin," geleng Tami.

"Padahal Gita selalu bisa dihubungin tiap kali kita susah ngehubungin Raina," timpal Duna.

Mendengar ucapan kedua sahabat Raina ini, pikiran Yiran semakin panik. Ia bergegas keluar lapangan dan kembali ke kelasnya untuk mengambil tas. Bolak-balik melewati Kavi yang sedang berdiri di depan pintu kelas sambil berbicara dengan Mia ketua kelas Raina.

"Kav? Kav?" panggil Mia berulang kali, saat Kavi tidak menjawab pertanyaannya.

"Eh, iya sorry! Oke nanti gue coba tanya ke Bu Findy." Kavi merapikan kertas-kertas hasil ujian yang lalu di tangannya. "Eh! Mia!" panggilnya saat Mia terlihat hendak kembali ke kelasnya.

"Apaan?" Mia berbalik badan kembali mendekat ke arah Kavi.

"Raina gak masuk hari ini?" bisik Kavi tak ingin ada yang mendengar pertanyaannya selain Mia.

Tak menjawab, Mia terlihat ragu-ragu. Dari gelagatnya Kavi bisa menebak kalau Mia menyembunyikan sesuatu. Sebagai sesama ketua kelas Kavi bisa menduga kalau Mia punya informasi yang tak dimiliki anak lain di kelasnya. "Kenapa? Gue janji gak bakal bilang siapa-siapa, serius!" bujuk Kavi.

Mia menarik nafasnya panjang, Kavi salah satu orang yang selalu membantunya saat ia kesusahan dengan posisinya sebagai ketua kelas, tapi yang Kavi tanyakan cukup sensitif dan ia tak bisa asal menjawab.

"Raina ngabarin ke lu, kan?" tebak Kavi tepat sasaran.

Menghela nafas lagi, "Tapi please jangan kasih tau ke siapa pun!" Mia memohon.

Kavi mengangguk-angguk, "Janji!" ucapnya.

"Semalem dia nelpon gue, dia minta bantuan gue buat ngabarin ke wali kelas kalau dia gak bakal bisa masuk beberapa hari kedepan karena papanya sakit di luar kota." Terang Mia, langsung meletakkan jari telunjuknya di depan bibir, "Jangan sampai ada yang tau! Dia minta gue buat gak bilang ke siapa-siapa termasuk Tami dan Duna."

Kavi terus mengangguk-angguk paham, "Thanks!" ucapnya ke Mia yang berjalan kembali ke kelasnya. Dalam hati merasa bersalah karena hanya dia yang tahu informasi ini, tapi buru-buru ia menepis pikiran negatifnya. Tak mungkin kalau Raina tak akan mengabarkan teman-temannya dan Yiran, pasti mereka juga akan tahu dalam waktu dekat. Dengan hati yang lebih tenang Kavi masuk ke dalam kelas.

***

Yiran turun dari taksi dan berjalan memasuki gang rumah Raina. Meskipun belum pernah mengantar Raina sampai ke depan rumah, Yiran tahu persis yang mana rumah Raina karena sering menunggu sampai Raina masuk ke dalam gerbang. Ia pun sampai di depan gerban hitam setinggi dada yang biasanya hanya ia lihat dari kejauhan ini.

Saat ia coba dorong, gerbang yang ternyata tak dikunci ini pun langsung terbuka. Sambil mengucap salam Yiran bergerak masuk dan mendapati lampu depan rumah menyala terang di pagi cerah seperti ini. Ia mengetuk pintu beberapa kali dan benar saja tak ada yang menyahut dari dalam, sepertinya memang tak ada orang di dalam.

Yiran mulai frustasi, ia berbalik badan dan menyapukan pandangannya ke sekitar lingkungan hendak bertanya pada siapapun, namun tak ada seorang pun yang lewat. Ia akhirnya duduk di teras rumah Raina sambil mencoba menelepon Raina lagi, sayangnya masih tak ada hasil, nomor Raina masih tidak aktif.

"Raina, kamu kemana sih?" Rasa khawatir yang teramat sangat mendera pikirannya. Kemarin semua terasa baik-baik saja dan sangat membahagiakan, bahkan saat berpisah semalam pun tak terlihat ada masalah sama sekali di mata Raina. Namun mengingat dirinya sendiri punya masalah saat pulang ke rumah, Yiran semakin khawatir kalau-kalau Raina juga mendapat masalah seperti dirinya. Sambil menatap ke langit Yiran berharap Raina segera menghubunginya, memberi kabar kalau dirinya baik-baik saja dan membuktikan kalau semua kekhawatirannya ini hanya sia-sia.

***

Kaki Raina terkulai lemas dan tubuhnya hampir jatuh ke lantai. Heru buru-buru menahan dan segera membantunya kembali berdiri. Dengan penuh kesabaran membimbing Raina duduk di kursi di pojok ruang tunggu rumah sakit. Hatinya merasa sakit karena harus menyampaikan fakta yang selama ini berusaha ia sembunyikan.

"J-jadi," bibir Raina gemetaran. "Jadi selama ini papa ada di penjara?"

Heru mengangguk penuh sesal, "Maaf Om gak bisa cerita lebih cepat. Om dua bulan ini berusaha bantu papa kamu buat bebas."

"Kenapa? Kok bisa?" tanya Raina pedih, air matanya mengalir deras membasahi wajah.

"Papa kamu niat buka bisnis sama temannya, mereka dapat investor dan janji kasih keuntungan yang persentasenya lumayan besar. Tapi ternyata bisnisnya gagal, temen papa kamu malah kabur, dan akhirnya investor itu laporin papa kamu dan temannya ke polisi." Jelas Heru berat.

Kepala Raina terhentak ke tembok di belakangnya, matanya memandang nanar ke langit-langit rumah sakit. Sepanjang perjalanan menuju kesini ia sudah berprasangka buruk tentang keadaan, namun kenyataannya apa yang ia dapat jauh lebih buruk dari prasangkanya. Kini ayahnya berbaring di kamar ICU dengan tangan bekas diborgol dan bahkan dijaga oleh satu polisi di depan kamarnya. Masih berstatus sebagai tersangka dan dilarikan ke rumah sakit karena tak sadarkan diri setelah setiap hari di dalam sel tahanan kesehatannya semakin buruk.

Dalam waktu kurang dari dua puluh empat jam hidupnya berubah seratus delapan puluh derajat. Semula ia kira hidupnya akan baik-baik saja, semula ia kira ia bisa menyongsong hari esok dengan bahagia. Nyatanya semua hanya butir-butir mimpi yang memuai dan hilang diterpa kenyataan.

Selangkah demi selangkah ia semakin menjauh dari mimpi indah yang dia idam-idamkan, sempat terbuai angan-angan dan harapan kalau semua masalahnya akan cepat terselesaikan dan pasti ada jalan keluarnya, nyatanya, ia yang masih remaja, bahkan belum sepenuhnya menghadapi pahitnya dunia, sudah harus menyerah terhadap keinginannya. Terpaksa sadar diri, dirinya tak bisa bahkan untuk sekedar bermimpi. Terlalu menyakitkan, saat diterbangkan tinggi oleh harapan, dijatuhkan kencang oleh kenyataan.

ASLOVEGOESBY - The New Comer and ITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang