24. Sebuah Rencana

45 6 0
                                    

Tiga tahun kemudian.

8 September 2018.

Yiran bergerak sedikit demi sedikit di tengah kilatan lampu kamera membidiknya tanpa henti. Di sebelahnya seorang cewek memeluknya dan tersenyum. Ia kemudian memiringkan kepalanya dan meletakkannya di atas kepala cewek berkulit coklat itu. Beberapa kali mereka saling tersenyum dan saling tatap. Terlihat mesra dan bahagia sampai fotografer berteriak, "Oke!"

Ekspresi wajah Yiran langsung berubah seratus delapan puluh derajat. Mata yang tadi penuh cinta seketika berganti dengan tatapan dingin yang menusuk. Tanpa bicara apapun dia bergerak menjauh, meninggalkan cewek berkulit coklat yang menggerutu sambil melihat ke arahnya, "Dasar psikopat!" umpatnya terdengar jelas oleh Yiran.

"Yiran!" panggil salah satu pengarah gaya yang berlari menghampirinya. "Lu yakin gak mau kontrak sama agensi itu?"

"Gak," geleng Yiran.

"Tapi bakat lu terlalu sia-sia kalau cuma jadi model part-time begini!" bujuk cowok berambut gondrong itu.

Tak menyahut, Yiran pergi begitu saja. Berjalan ke arah ruangan lain, mengganti bajunya dan lekas pergi meninggalkan lokasi pemotretan. Sambil menghapus make up di wajahnya dengan tisu basah, ia menyeberangi area parkir dan masuk ke mobil SUV hitam yang terparkir tak jauh dari pintu keluar.

Di dalam mobil ia terdiam sejenak, mengambil ponselnya dari dalam tas dan mengecek semua pesan yang masuk. "Ck!" decaknya kesal, melihat namanya dimasukkan ke list panitia penerimaan mahasiswa baru di kampus. Ia langsung mencari salah satu kontak dan menelponnya dengan dahi berkerut. "Kenapa lu masukin gue ke panitia?" cecarnya begitu panggilannya di jawab.

"Lu kan senat juga!" teriak Greg di ujung saluran, suara di sekitarnya terdengar berisik dan mengganggu.

"Ah!" keluh Yiran langsung mematikan panggilan. Padahal Greg yang dulu memaksanya masuk ke senat mahasiswa, sekarang dia juga memaksanya masuk ke panitia penerimaan MABA. Masih merengut kesal Yiran menyalakan mesin mobilnya dan mengendarainya keluar parkiran. "Sialan si Greg!" umpatnya.

***

Tepat jam tujuh malam saat bel di pabrik berbunyi, Raina mengambil cermin persegi di atas mejanya, lalu mengambil jedai hitam di dalam laci. Ia bercermin sambil mengikat rambut sepunggungnya dan membetulkan poninya yang menutupi dahi. Setelah dirasa rapi, ia bergegas bangkit dari kursi, mengambil tasnya yang disampirkan di pinggir meja dan buru-buru keluar ruangan.

"Semuanya! Aku pamit ya!" ujar Raina lalu melakukan tos dengan semua yang ada di ruangan.

"Ahhh, Raina!" Seru Yunita salah satu perempuan yang duduk di pojok ruangan, ia berdiri dan memberikan pelukan hangat. "Jadi kita nggak bisa ketemu lagi dong?" Ratapnya sedih.

Raina tersenyum, "Bisa dong, kita kan masih bisa ketemuan lagi nanti, aku pulang tiap liburan kok!"

"Jadi kamu bakal kuliah di Jakarta?" sela cowok berkacamata yang duduk di sisi pojok lainnya.

"Iya lah orang dia udah lulus ujian!" Celetuk satu orang lainnya lagi.

Raina tertawa, dia akan merindukan suasana ini, suasana bersama mereka yang menjadi rekan kerjanya selama tiga tahun terakhir. Banyak suka duka yang dilewatkan bersama orang-orang yang penuh loyalitas ini. Meski hatinya sayang untuk meninggalkan mereka, namun sudah waktunya dia kembali ke Jakarta. Selama tiga tahun ini dia berusaha menabung untuk membayar hutang dan daftar kuliah, tapi Om Heru dan Tante Wiwid, istrinya, sama sekali tak mau Raina membayar hutang mendiang papanya. Mereka mendorong Raina untuk menggunakan semua uangnya untuk keperluan kuliah.

Menurut Heru dan Wiwid, kehadiran Raina di pabrik sangat berarti. Raina mampu menyelesaikan banyak masalah dengan cepat dan baik. Pabrik bahkan mendapat keuntungan lebih tiap bulannya selama tiga tahun terakhir.

Belum lagi kehadirannya di rumah, mereka yang selalu mengidam-idamkan adanya seorang anak di rumah benar-benar merasakan aura yang berbeda semenjak ada Raina. Bagi mereka semua hal itu sudah lebih dari cukup. Raina mengisi kekosongan dalam hidup mereka. Oleh karena itu mereka tak mau menerima sepeserpun uang tabungan yang susah-susah Raina kumpulkan. Mereka terus mendorong Raina untuk segera mendaftar kuliah. Meskipun tak ingin berpisah, mereka yang paling tahu betapa Raina ingin kuliah ke Jakarta.

Keduanya menyambut Raina yang sudah selesai berpamitan dengan karyawan pabrik. Wiwid merentangkan tangannya dan Raina langsung mendarat dalam pelukannya. "Jaga diri ya disana, makan yang teratur, jangan lupa istirahat," ucap Wiwid lembut sambil mengusap-usap punggung Raina sambil meneteskan air mata.

"Jangan nangis dong, Tante! Nanti Rainanya gak mau berangkat!" Celetuk cewek berambut bob coklat ikal yang keluar dari dalam mobil yang parkir di halaman pabrik.

"Hih dasar!" cibir Wiwid ke Tami yang cengar-cengir mendekati mereka. Saking seringnya anak itu datang ke rumah, Wiwid sampai tak heran lagi dengan celotehannya.

Kavi keluar dari pintu supir. Melambaikan tangannya dari balik mobil. "Tas udah di bagasi semua!" Serunya mengatakan hal yang jelas-jelas Raina sudah tahu.

Tami dan Kavi datang pagi-pagi buta untuk menjemput Raina ke Jakarta, rela menunggu Raina menyelesaikan pekerjaannya dulu sampai malam begini. Padahal sejak awal Raina sudah bersikeras untuk berangkat sendiri, seakan takut Raina tak benar-benar berangkat, mereka memaksa mengawal Raina dari Bandung sampai Jakarta.

"Tenang Tante," Tami mengaitkan tangannya ke lengan Wiwid. "Ada aku disana, aku bakal jagain Raina dan sigap infoin tante kalau ada apa-apa!" Rayu Tami, berhasil membuat tangisan di wajah Tante Wiwid berubah menjadi tawa.

Di sisi lain, Om Heru terlihat menyambangi Kavi. "Titip Raina ya, Kav!" Pesannya sambil menepuk bahu Kavi yang mengangguk sopan.

"Ayo! Kalau gitu kita berangkat!" Seru Tami lalu menyalami tangan Wiwid dan Heru.

Raina bergantian menyalami, "Aku berangkat ya Om, Tante, aku bakal dateng tiap liburan!" Janji Raina, kemudian melambaikan tangan sambil melangkah mundur.

"Dadah Om! Dadah Tante!" Seru Tami dari dalam mobil. Kavi menundukkan kepalanya ke arah Heru dan Wiwid lalu menyalakan mesin mobil.

Raina duduk di kursi belakang, matanya melirik bolak balik ke Kavi yang serius mengemudikan mobil keluar area pabrik dan Tami yang mengotak atik safety belt nya yang tak bermasalah. Raina menggeleng dan tertawa. Kecanggungan mereka berdua benar-benar terlihat lucu.

"Udah lah!" Seru Raina ke Tami yang langsung menengok ke arahnya dan Kavi yang memandangnya dari spion. "Mau sampai kapan si kalian mau akting cuek-cuekan gitu setiap di depan gue!" tegur Raina, "Udah pacaran setahun lebih juga masih aja gak enakan sama gue!" Tambahnya, membuat Tami langsung nyengir kuda.

"Tau tuh dia masih aja begitu!" Timpal Kavi, matanya kembali memandang jalanan di depan mobil.

"Ih kan kamu duluan yang bilang nggak enak kalo di depan Raina!" Sahut Tami sambil merengut.

"Ya itu kan dulu! Setahun lalu! Kamu nya yang masih aja sampai sekarang!" Serang Kavi balik.

Raina berdecak sambil menggeleng, "Pamer nih, pamer? Pertengkaran pasangan? Di depan jomblo ini?" Sindirnya.

Tami tertawa kaku, "Maaf deh!" Ia mengembalikan posisi tubuhnya kembali menghadap depan sambil menahan tawa. "Eh tapi tenang!" Serunya tiba-tiba. "Lusa lu bakal ketemu calon-calon pacar. Duuuuh, asiknya jadi MABA!" Ujar Tami pura-pura iri.

Raina merengut. "Nggak lah, gue mau belajar bukan mau pacaran!" Sahut Raina, melemparkan pandangannya ke gelapnya jalanan malam di luar mobil. Ia pun memejamkan matanya, perjalanan masih jauh, tubuhnya lelah bekerja seharian. Sesampai di kosan ia harus bongkar barang dan merapikannya. Memikirkannya saja membuatnya semakin lelah. Lebih baik ia tidur, toh Kavi ada Tami yang menemani. Tak akan kesepian sampai ke Jakarta.

Tami menengok lagi, mencuri pandang ke Raina yang mulai terlelap. Matanya basah karena iba, melihat betapa kurusnya badan Raina sekarang dibanding saat sekolah dulu. Kavi melirik mengamati ekspresi Tami, ia lalu memindahkan genggaman tangannya dari persneling ke tangan Tami. Tami pun menatap kekasihnya yang mengangguk-angguk itu. Kavi memahami isi pikiran Tami, sekaligus tahu apa yang sudah Tami rencanakan untuk Raina kedepannya, anggukan Kavi juga pertanda ia setuju dan mendukung Tami, meyakinkannya kalau semua akan baik-baik saja.

ASLOVEGOESBY - The New Comer and ITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang