PROLOG

158 15 3
                                    

"Jadi ini makan malam kamu?"

Nirina terjingkat mendapati sosok yang terus mengikutinya tiga tahun terakhir tiba-tiba muncul di hadapannya. Cilok yang sedang dikunyah nyaris tertelan bulat-bulat. "U-udah selesai operasinya, Dok?"

Rama duduk di sekat dinding seberang posisi Nirina duduk. Mereka saat ini berada di lorong samping ruang transit jenazah. Mengerikan bukan? Jangan sebut namanya Nirina kalau tidak bersembunyi di tempat paling tersembunyi ketika ia akan menyantap makannya.

"Kok Dok? Panggil Mas dong, toh kita cuma berduaan aja di sini."

"Ya tapi ini rumah sakit. Mungkin sekarang nggak ada siapa-siapa, tapi—"

"Yuk makan di kantin aja, kamu butuh karbo dan protein juga, Na. Jangan kebiasaan deh makan malem cuma sama cilok atau gorengan." Rama mengamit lengan Nirina, mengajak gadisnya beranjak dari sana.

Ya aku juga maunya gitu, tapi kantong nggak memungkinkan. Lirih hati Nirina membatin.

Nirina melepas tangan Rama lembut. "Putus yuk, Dok."

"Lagi?" Rama langsung ternganga mendengar permintaan pacarnya. "Kamu nggak bosen ya ngajakin aku putus terus? Bulan ini udah lima kali lho, Na."

Nirina menghela napas dalam sebelum menjawab, "Kita nggak ada harapan."

"Harapan itu bisa kita ciptakan, Na."

"Dan bisa kita padamkan juga, kan?"

"Nirina, please, berhenti ngajak aku putus!" Rama memeluk Nirina, menempelkan keningnya ke kening si cewek. Dengan wajah memohon Rama berkata, "Ajakin nikah kek, putus melulu isi pikiran kamu."

Selama sebulan lebih menjadi koas di rumah sakit yang sama dengan Rama, baru kali ini Nirina ketar-ketir takut ketahuan. "Jangan gini dong, nanti ada yang lihat gimana?"

"Ya nggak gimana-gimana, tinggal bilang aja kita pacaran."

"Mana bisa gitu! Dokter itu konsulen saya. Gimana pandangan yang lain kalau tahu konsulen pacaran sama koas? Nanti kalau saya dapet nilai bagus, mereka akan mengira nilai itu hasil nepotisme, Dok."

"Hmmm, nepotisme cinta, bagus juga kedengarannya," gurau Rama yang akhirnya melepas pelukan.

"Dih, malah bercanda." Nirina berdecak kesal. "Lagi pula kita akan putus, jadi buat apa memberi tahu yang lain?"

Mata Rama menyipit, ia menatap tajam Nirina. "Jangan bilang 'putus dari aku' udah masuk ke dalam daftar cita-cita kamu? Kenapa sih kita harus putus?"

Belum sempat menjawab, getar ponsel Nirina menyekat percakapan mereka. Gadis itu mengangkat telepon, lalu setelah itu ia pamit ke Rama. "Saya harus segera ke IGD, Dok." Beberapa detik kemudian Nirina terburu-buru berlari pergi meninggalkan Rama yang hanya bisa memandang punggung kekasihnya menjauh.

"Apa bener, putus dariku bikin kamu bahagia, Na?" tanya Rama lirih untuk diri sendiri.

***

Mas dokter jadi galau nih

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Mas dokter jadi galau nih....

Yuk tinggalkan vote dan komen ya, biar semangat update!

Dikerjain Mas DokterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang