"Saya nggak suka, deh, cara Mas paksa saya masuk mobil tadi," gerutu Nirina sebelum menyeruput es jeruk di depannya.
Alih-alih menanggapi protes Nirina, Rama malah menggoda gadis itu. "Kamu nggak makan pake tangan lagi kayak waktu itu?"
"Enggak. Percuma saya makan pakai tangan kayak monyet, toh nggak bikin Mas Rama ilfil sama saya juga pada akhirnya." Dengan tangan kanan memegang garpu, dan tangan kiri menggenggam sendok, Nirina lahap menyantap mie ayamnya. "Kembali ke topik, deh, jangan mengalihkan isu. Kita memang pacaran, tapi saya juga punya kehidupan pribadi. Saya nggak suka dipaksa-paksa. Apalagi bahasa Mas Rama tadi tuh...."
"Tapi aku serius akan gendong kamu kalau kamu nggak mau masuk sendiri."
"Mas tuh apaan, sih?" Nirina geram sekali.
"Aku nih sibuk lho, Na. Mungkin beberapa hari ke depan aku nggak ada waktu buat ketemu kamu. Jadwalku padat, tugas nggak main-main, belum lagi persiapan ujian. Hari ini aku sempetin banget karena pengen jalan sama kamu. Masa kamu lebih berat ke Karen?"
Syukurlah....
Terima kasih banyak kuucapkan pada tugas-tugas dan jadwal jaganya Mas Rama. Kalian menyelamatkanku. Kalian bikin aku nggak perlu repot-repot mikirin cara buat bawa Mas Rama ke tempat jin buang anak.
"Wajah apa itu? Kenapa kamu kelihatan hepi banget? Seneng ya, kalau aku nggak bisa gangguin kamu?" Rama yang kesal meletakkan alat makannya.
Nirina jadi tidak enak hati tertangkap basah sedang bersuka cita karena akan ditinggal pacarnya. "Ah, masa sih? Ekspresi saya kan memang begini kalau lagi makan makanan enak, Mas. Jangan over thinking, deh."
"Bener senengnya kamu ini cuma karena makanan? Bukan karena aku nggak bisa nemuin kamu?"
"Nggak percayaan, ih."
"Nirina," panggil Rama meminta perhatian. "Coba kamu tatap mata aku, perhatikan wajahku baik-baik. Kamu ngerasa kita pernah ketemu di suatu tempat nggak sebelumnya? Mungkin waktu kita remaja." Rama penasaran, apakah Nirina sama sekali tak mengingat wajah pelanggan jajanan yang dijual neneknya.
Untuk beberapa detik Nirina tak berkedip, hanya mengamati setiap detail fitur wajah Rama. "Enggak, deh, kayaknya. Emang kita pernah ketemu di mana sebelumnya?"
Rama memijat pangkal hidungnya, ia menyerah. Dikibaskannya tangan ke depan muka Nirina. "Siapa tahu, mungkin aku pernah masuk ke mimpimu. Kan kata orang-orang, kalau jodoh tuh kadang datang menyapa kita di dalam mimpi."
"Ah, ngaco itu." Nirina tak setuju. "Terus kalau saya mimpiin Mak Lampir dan Gerandong, berarti mereka calon mertua dan calon suami saya?"
"Haha, Nirina, Nirina, emang kamu suka mimpi gituan??"
"Ya, enggak sih. Saya jarang mimpi dalam tidur, Mas. Mungkin karena jam tidur saya kacau, ya, jadi tiap tidur pasti pules, nggak sempet mimpi kering atau basah."
"Sa ae kamu. Tapi kalau mimpi di dunia nyata, ada dong?"
Nirina menggeleng. "Nggak ada, sih, kayaknya. Impian apa, dong? Saya cuma pengen hidup kayak orang normal aja, sih. Hahaha, ambyar banget mimpiku."
"Lho, terus ngapain kamu sekolah kedokteran kalau bukan untuk mewujudkan mimpi?"
Tanpa pikir panjang, Nirina mengatakan isi pikirannya. "Oh iya, benar kata Mas Rama. Saya sekolah kedokteran biar jadi kaya. Kayaknya mimpiku jadi kaya, deh, tapi nggak kaya yang gimana. Cukup nggak perlu khawatir besok makan apa. Itu aja, sih."
"Hah?" Rama tercengang mendengar itu. "Kalau cuma pengen kaya, kamu cukup nikah sama aku, kan bisa. Nggak perlu berdarah-darah kuliah kedokteran, baca dan hafalin text book super-super tebel, praktikum sama mayat-mayat, lembur banyak tugas, belum ujiannya yang beraneka macam."

KAMU SEDANG MEMBACA
Dikerjain Mas Dokter
ComédieNirina dibayar oleh Karen untuk menggantikannya datang ke kencan buta yang sudah diatur orang tua Karen. Karen akan membayar SPP kuliah Nirina kalau gadis itu berhasil membuat Rama ilfeel dan dengan sukarela membatalkan perjodohan. Siapa sangka Dokt...