E-N-A-M

105 14 1
                                    

"Naaaaaaaaa, lo hebat banget!" Karen menyambut Nirina dengan suka cita yang tak biasa. Senyumnya seperti dibuat-buat. Meskipun bahasa Karen sudah seperti rakyat menyambut pahlawan yang baru pulang dari medan perang, tapi sorot sendu di matanya tak bisa disembunyikan. "Nyokapnya Rama udah telepon nyokap gue, minta maaf karena Rama menolak perjodohan ini."

Nirina tak menyadari kepalsuan ekspresi Karen. Ia tersenyum getir sambil manggut-manggut melepas tas cangklongnya. "Berarti aku bisa dapet bayaranku sekarang, dong?"

"Iya, nih aku transfer sisanya." Karen mengusap-usap layar gawai pintar di tangannya, kemudian menunjukkan isi layar ke Nirina. "Nih, lunas, ya."

"Oke, makasih. Senang berbisnis dengan Anda." Senyum Nirina kali ini lebar maksimal.

Karen menarik sahabatnya hingga Nirina terduduk pasrah di sofa. "Ceritain, dong, gimana ending misi lo tadi?"

"Emmm, jadi sebenernya ...." Nirina menjeda penjelasannya. Menimbang apakah ia harus menceritakan setiap detail konyol yang dilalui bersama Rama. Ah, tapi cuma Karen yang bisa memberi solusi setiap masalahnya. Nirina merasa Karen perlu tahu ia baru saja membuat kesepakatan gila dengan pemuda itu.

"Kok bengong?"

"Mas Rama tahu dari awal kalau aku bukan kamu." Lesu, Nirina bercerita.

"Hah? Terus?"

"Ya, gitu. Dia ngerjain aku habis-habisan. Tapi di akhir, dia ngasih penawaran."

"Apa, tuh?"

"Kalau aku mau jadi pacarnya, dia mau menolak perjodohan ini. Konyol nggak, sih?"

"Serius Rama ngajakin elo jadian? Demi apa?!"

Nirina mengedikkan bahu. "Khilaf kali."

"Terus elo mau aja terima dia?"

"Ya, aku harus gimana? Kalau aku tolak, dia nggak akan mau menolak perjodohan kalian."

"Oh iya, bener. Tapi gue masih nggak abis pikir seorang Rama Surya Tjandra kok bisa sembarangan pacarin cewek." Karen mengatakannya dengan emosi menggebu. Jujur saja, ia agak cemburu Rama tertarik pada si gembel Nirina.

Nirina mengangguk. "Anggep aja aku cuma mainan baru dia. Ntar juga dibuang kalau dia udah bosen."

"Ih, elo tuh nggak punya ambisi banget ya, Na, jadi orang."

"Punya, buktinya demi tiga puluh juta aku mau pura-pura jadi cewek murahan. Tapi aku memang nggak berekspektasi sama hubunganku dengan Mas Rama. Sama yang biasa aja aku nggak ada minat, apalagi sama cowok tajir. Bisa makin runyam hidupku yang udah pelik ini, Ren."

"Bagus, pupuk terus tuh prinsip elo itu. Gue akan bantuin cari cara buat bikin Rama bosan ke elo"

"Beneran, ya?"

"Siaaaaap! Apa, sih, yang enggak buat elo?"

"Ya, udah aku ganti baju dulu. Takut gaun mahal kamu kotor, nih." Nirina meletakkan tas dan ponselnya di atas meja. Ia menggunakan kamar mandi pribadi Karen untuk berganti pakaian.

Sementara Nirina di kamar mandi, pesan dari Rama masuk ke gawainya. Karen membaca sekilas pesan itu.

[Ramayanayulio] Love, maaf, ya. Jangan marah, dong. Kalau kamu nggak suka, aku janji nggak akan cium kamu tanpa izin. Please angkat dong teleponku.

"Serius, mereka udah ciuman?" Karen geram bukan main. Ia melempar benda persegi milik temannya itu ke lantai, lalu menginjak-injak hingga layarnya remuk.

Sesal mendalam mencubit jantungnya. Jujur saja, ia baru melalui hari sangat buruk. Sore tadi, bersama Ibnu ia ke Poli Kandungan untuk mendengar dokter membacakan hasil laboratorium. Beberapa bulan terakhir ini, Karen mengalami nyeri hebat di perut bawah dan pinggang sebelah kiri. Saat pipis atau berhubungan badan dengan Ibnu, ia juga merasa kesakitan. Ia bahkan mengalami keputihan yang berbau busuk. Sebagai mahasiswa kedokteran, ia bisa menduga penyakit apa itu. Namun, hatinya menyangkal. Tidak mungkin Ibnu menyebabkan dirinya terjangkit IMS atau Infeksi Menular Seksual. Baru ketika melihat hasil laboratorium, Karen luluh lantak. Dirinya benar-benar mengidap penyakit gonore.

Dikerjain Mas DokterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang