S-A-T-U

141 12 1
                                    

Tiga bulan yang lalu.

Saat itu Nirina masih mahasiswa kedokteran miskin yang sebentar lagi akan menyelesaikan pendidikan sarjana. Biaya sekolahnya bergantung pada beasiswa penuh yang tak sepenuhnya penuh. Kenapa demikian? Sebab tunjangan yang diberikan yayasan masih jauh dari kata cukup untuk membuat Nirina tidak perlu berdarah-darah mengambil pekerjaan sampingan.

"Jadi aku cuma perlu ketemuan sama orang itu?" Nirina bertanya agar lebih jelas.

"Ya gitu, bokap gue atur makan malam buat gue sama dia. Berharap setelah kami ketemu, kami akan setuju melanjutkan perjodohan ini. Nah, tugas lo gampang aja. Lo cukup bikin Dokter Rama ini ilfil sama lo, sehingga dia secara sukarela menolak perjodohan." Karen menjelaskan sambil merapatkan duduk ke Nirina yang kini berada di bibir ranjangnya.

Nirina semakin tidak mengerti. "Kenapa kamu nggak nolak aja, sih, dari awal kalau memang nggak mau? Kenapa harus nyuruh aku gantiin kamu buat bikin dia ilfil? Rumit banget nggak sih, Ren?"

"Ya, rumit emang, Na. Tapi gue nggak mau terang-terangan membangkang ke bokap gue. Bisa-bisa jajan gue disunat."

Nirina hanya mengangguk-angguk saja. "Oke deh, tapi gede nggak bayarannya?"

Karen tersenyum lega. Ia tahu benar sahabatnya satu itu mata duitan. Nirina kerap joki tugas teman-teman seangkatan, bahkan adik kelas. Mana mungkin ia menolak pekerjaan mudah ini. "Gue bayar setara satu kali uang SPP kita, deh."

"Hmmm, gimana kalau setara harga kadaver?" tawar Nirina yang sepertinya tahu kalau Karen bisa membayar lebih dari uang SPP mereka.

"Emang sekarang berapa harganya, Na?"

"Karena di kampus kita ada kelangkaan, jadi mahal. Dulu kita masih dapat harga delapan sampai dua puluh juta. Kemarin Wisnu, tuh, adik kelas kita, disuruh ganti beli kadaver baru tiga puluh juta."

Kadaver adalah mayat yang telah diformalin untuk dibedah dan dipelajari pada mata kuliah anatomi. Setiap kampus memiliki kebijakan sendiri dalam penyediaan stok kadaver.

"Anjirrrr, masa temen sendiri lo palak sih, Na?"

"Enggak malak juga sih. Kalau nggak mau, ya, nggak apa-apa. Namanya bisnis harus pandai nego, Karen." Nirina senyum-senyum saja menanggapi Karen.

"Ya udah deh. Gue bayar sejuta dulu. Kalo Dokter Rama bener-bener menolak perjodohan dengan mulutnya sendiri, sisanya gue transfer ke elo."

"Deal," balas Nirina sembari menjabat tangan Karen. Lumayan. Setelah ini, ia akan masuk pendidikan profesi dokter. Alias menjadi koas. Jangankan mencari pekerjaan sampingan, sempat memakai bedak dan lipstik saja sudah bersyukur.

"Nih foto Dokter Rama." Karen menunjukkan foto pria di akun Instagram @dr.rama_90 ke Nirina.

"Hmmm, ganteng gitu kok kamu tolak?" tanggap Nirina yang lumayan terpesona. Catat. Hanya terpesona sejenak, seperti waktu dia lagi lihat Jimin BTS melet-melet.

Karen menyunggar rambut sebelum menjawab, "Ya, elo tahu sendiri gue udah sama Ibnu. Ogah gue dijodoh-jodohin, apalagi sama Dokter Rama yang sok dingin itu."

"Dingin? Kulkas, dong."

"Ya gitu, kebetulan sodara gue satu RS sama Dokter Rama ini. Lo inget si Elya?"

"Oh, Mbak Elya?"

"Dia kan lagi koas di RSUD Dr Soetono, nah si Rama itu residen bedah di sana. Kata Elya kelakuan Rama ke adik-adik koas udah kayak dedemit. Kagak ada ramah-ramahnya."

"Oh, jadi itu alasan kamu nggak mau dijodohkan sama Dokter Rama?"

Karen menggeleng. "Ya, enggak sepenuhnya karena itu. Kan tadi gue udah bilang alasan utama gue nolak karena gue udah punya Ibnu."

"Oke, I see."

"Nah, gue udah profiling si Rama, nih, biar lo lebih mudah menjalankan misi."

"Profiling apaan?"

"Ngumpulin data tentang dia. Apa yang dia suka, apa yang nggak dia suka!"

"Ooooh."

"Satu, dia benci cewek mata duitan. Nah, ini kan elo banget ya, Na. Tunjukin sisi mata duitan elo biar dia ilfil."

"Beres, bisa diatur. Tapi kalau gagal gimana?"

"Tenang, ada jurus kedua. Rama juga benci cewek jorok. Jadi lo bisa lakuin hal-hal jorok yang bikin dia jijik sama lo semaksimal mungkin."

"Tapi emang nggak apa-apa? Aku bikin nama kamu jelek nggak, sih, kalau ngelakuin hal-hal jorok?"

"Don't worry, gue nggak masalah."

"Kalau udah menunjukkan sisi paling jorok aku, terus nggak berhasil gimana?"

"Tenang, masih ada jurus ketiga. Dokter Rama itu benci banget sama cewek gatel dan murahan."

Mata Nirina mendelik. "A-aku harus kegatelan dan murahan? Gimana caranya?" Sebagai anak baik-baik yang bahkan enggan pacaran, Nirina bingung bagaimana harus bersikap murahan.

"Hmmm gimana, ya? Gimana kalo lo tawarin dia check in ke hotel untuk melanjutkan bersenang-senang?"

"Hah? Sampai sejauh itu? Aku masih perawan lho, Karen. Jangan ngadi-ngadi, nanti kalau dia beneran mau check in sama aku gimana?"

Karen tahu benar karakter Nirina. Gadis itu tak pernah merasa cantik meskipun parasnya di atas rata-rata. Dengan kulit kuning bersih, wajah oval, dagu runcing, serta hidung mancung tapi mungil. Fitur muka Nirina sebelas dua belas dengan artis Asmiralda. Entah apa yang membuat Nirina rendah diri keterlaluan. Dan sepertinya, kali ini Karen bisa memanfaatkan insecurity Nirina untuk mendorong gadis ini.

"Kagak mungkin. Yakin gue, Na, yang ada Dokter Rama langsung usir elo dari sana detik itu juga. Nah, kalo dia usir elo, berarti elo berhasil bikin dia ilfil."

Nirina mengangguk-angguk gampang seperti biasanya. "Oh, bener. Siapa juga mau sama cewek gembel kayak aku. Oke, deh. Aku terima pekerjaan ini."

"Oke, gue kasih yang sejuta sekarang. Sisanya lihat hasil."

"Siapppp!" Nirina meringis girang menerima amplop dari Karen.

"Besok sore lo ke sini. Gue mau dandanin elo dulu sebelum lo ketemuan sama Dokter Rama."

"Eh, pake didandani segala, ya?"

"Ya iyalah, biar meyakinkan kalo lo adalah gue, Karen Grace Sweetasari. Paham?"

Nirina tersenyum saja sambil manggut-manggut setuju.

****

Dikerjain Mas DokterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang